Pertama kali aku mengenal istilah parameter adalah saat aku bersentuhan dengan ilmu alam dengan seabreg variabel pembatas. Kimia, ya mungkin saat itulah aku mulai mengenal lebih dalam tentang sebuah parameter. Parameter memiliki beberapa makna dan penafsiran yang berbeda. Ada yang menyebut batasan, ukuran, acuan, nilai, tolok ukur, takaran dsb. Tergantung dari segi mana kita memaknai dan berdasarkan latar belakang apa kita menggunakan istilah "parameter" itu sendiri.

Dalam berbagai hal, kita dibenturkan dengan banyak parameter, dan parameter-parameter itu sebenarnya membuat kita semakin hari semakin bingung. Parameter kuliah, parameter performance kerja, parameter sukses, parameter bahagia, parameter kaya dan parameter-parameter lainnya.
Setelah dipikir-pikir, menurut bayanganku, parameter hanyalah sebuah titik bias yang di paksakan menjadi jelas. Begini maksudnya, yang disebut parameter, pada dasarnya tidak bisa di buat pasti, karena didunia ini tidak ada hal yang bisa dipastikan. Karena tidak ada satu orangpun yang bisa memberikan jaminan kepastian. Jangankan jaminan untuk 5 tahun kedepan, jaminan setahun, sebulan, sehari, sejam bahkan semenit yang akan datang pun tidak ada yang mampu menafsirkan.
Parameter itu adalah variabel yang disepakati. Tetapi, dalam setiap hal kesepakatan itu bukanlah persetujuan yang mutlak. Kesepakatan itu ada karena faktor kuantitas - mayoritas. Karena banyak yang setuju tentang satu hal, maka persetujuan itulah yang dijadikan sebagai acuan. Dalam bahasa lain itulah yang disepakati sebagai parameter. Kalaupun kita tidak sepakat tidak ada masalah, asal ketidaksepakatan itu dibarengi dengan argumentasi logis. Itulah yang terjadi saat ini, semua manusia bersitegang menerka, mengajukan penawaran pola berfikirnya, membuat batasan semaunya, dimana tiap orang yang ditemuinya harus mengikuti parameter yang diajukannya.
Ada deretan kalimat yang aku cuplik dari salah satu tulisan penyair tanah air, yang aku anggap itu adalah guruku, Emha ainun nadjib, itulah dia. "dan kini saya terjebak di kurungan peradaban, di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan". Perasangkaan terhadap keunggulan hanyalah sebuah hasil fiktif yang ompong, boleh jadi secara kasat mata terlihat unggul tetapi batinnya kosong. Jadi jangan terjebak mengikuti lontaran ukur dari orang lain.