Kamis, 15 Agustus 2013

IKHTIAR CINTA

1. Cinta Bersabarlah

Begitu lama aku mencoba
Dan sampai kini tak berdaya
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya
Walau tak ku punya Tapi ku percaya cinta itu indah
Walau tak terlihat Tapi ku percaya cinta itu indah
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya

Ahhh, Indah sekali penggalan lyric lagu itu, senandung mesra yang selalu elok untuk didendangkan dan selalu menentramkan saat didengarkan. Lyric lagu kreatif yang dipopulerkan oleh Band Letto ini cukup mewakili sapaan lirih kalbuku. Yaa, sudah lama aku berusaha, semaksimal mungkin untuk mencoba, ingin sekedar ku gapai hati itu, hatimu yang serasa tulus, suci dan utuh, Bahkan bagi siapapun tak mudah singgah dan sesekali berteduh dibawah ranum kalbumu, kecuali bagi yang engkau perkenankan hadir menemui kesejatian dirimu. Sesekali aku masih mencoba, tapi apa daya diri tak kuasa melawan resistensi kejujuran hatimu. Kesabaranku memuncak, dan baru kusadari bahwa puncak dari sebuah kesabaran adalah menuju kepada kesabaran yang lebih sejati. Kesadaranku terhenyak, normalitas pikiranku tersentak melihat parasmu yang mengoyak. Sifatmu melenakan batinku, musikalitas sikapmu mengantarkan jiwaku semakin terpana, irama kepribadianmu tak jarang membuncahkan lamunanku, Lebaaaaay banget, yaaaa lebay uraian ini se-lebay jujurnya perasaanku pada dirimu. Saat dulu bahkan mungkin sampai saat ini pun “belum aku punya” cinta itu, tapi sungguh aku tetap percaya bahwa cinta yang kau bawa begitu indah, meski belum sampai terlihat, tapi masih saja dibuat gila aku mempercayainya. Aaah biarlah, entah meski sampai waktu berapa lama, yang jelas sudah aku perintahkan pada hati ku sendiri, untuk tetap tegar dan bersabar, juga sudah aku beri mandataris kepada hati ini agar senantiasa tetap bersandar pada sebuah kepasrahan dan penantian. Yaa kalaupun memang kelak kenyataan yang muncul tidak sesuai seperti yang diusahakan, pertama setidaknya peristiwa tersebut bisa menjadi ilmu, karena pelajaran terbaik / ilmu paling berkesan adalah yang dilahirkan dari sebuah pengalaman.

Bolehlah ini dikatakan sebagai curahan hati meski sekedar “mengagumi”, kalau belum bisa disebut “mencintai”. Entah dimensi ruh sebelah mana yang sering menggetarkan nyaliku, tak tau apa nama perasaan itu, banyak anak muda menyebutnya “Cinta”. Aku juga masih bingung dibuatnya, entahlah, Kata orang, cinta karenaketampanan/kecantikan sejatinya itu bukan cinta tapi nafsu, Mencintai karena kekayaan, sejatinya bukan cinta tapi materialistik, Mencintai karena kelihaian seseorang, sejatinya bukan cinta tapi kagum, tapi bagaimanapun kata orang terkait hal itu, yang jelas diam-diam aku menyimpan sebuah rasa yang entah apa namanya, tatkala disebut namamu gemetar aku dibuatnya. Dan aku pastikan, bahwa aku membutuhkan Cantik, Kaya dan lihaimu, cantiknya hatimu untuk melengkapi buruknya hatiku, yang aku butuhkan kekayaan batinmu untuk mensejahterakan miskinnya batinku, kubutuhkan keliahaian cara berfikirmu untuk membetulkan cara pandang ku yang mungkin banyak keliru, kesemuanya itu aku sampaikan, supaya suatu saat kita bisa menemukan irama strategis untuk bisa berjalan secara harmonis, meski keinginan itu sekedar ilusi tak logis. Gila pikiranku, stress logikaku, lelah batinku, terkulai hatiku saat sang waktu kembali mengajak bersimfoni menemui dirimu. Terlalu sulit membayangkan dirimu, suliiiiiiiiit sekali membayangkanmu, karena kau bukan bayangan, tapi kau kenyataan, kau begitu nyata mengusik relung batinku. Hufth andai kau tau, kala itu sungguh nafasku tersenggal-senggal Sedikit tersiksa, meronta-ronta tak berdaya.

Ibarat syair yang lucu tapi ada benarnya juga kalau di renungkan. “Antara Cinta dan kentut ternyata memiliki beberapa persamaan, Sama-sama tidak bisa ditahan, keduanya akan menjadi lega bila terlaksana. Cinta ditahan sengsara, Kentut ditahan menderita. Kalau cinta dan kentut keras bersuara, tentu perasaan menjadi lega”. Heheee itu perumpamaan iseng, toh juga tidak bisa disamakan, Jika kentut lama-kelamaan juga akan hilang menguap, jika cinta sejati ia tak akan pernah diizinkan menguap dari sandaran perasaan.

Ah sudahlah lupakan Cinta dan kentut, ku malai kembali rentetan kegalauan perasaan ini. Entah sudah berapa lama aku bertahan mengkompromikan perasaan, seberapa lamanya aku tak perduli. karena akupun baru memahami, bahwa lama maupun sebentar bukan hanya dari satuan waktu tapi juga dimensi kesabaran. Menunggu orang satu jam terasa cukup lama kalau tidak ikhlas bersabar, sebaliknya menunggu 1 jam pun kalau sudah terpatri rasa sabar akan mengantarkan pada tambahan keilmuan. Itu saja. Memang iya, saat-saat aku menunggu, aku masih setia berjalan diatas alas keraguan dan berhenti dibawah atap ketidakpastian. Sesaat aku bayangkan, bagaimana cara kakiku untuk terus aku langkahkan, dan kearah mana sudut kakiku harus ku hadapkan, karena didepan, ku lihat ada persimpangan jalan dan banyak probabilitas tujuan, entah apa yang setia merasuki akalku, sehingga pikiran ini masih mesra dengan pilihan utama. Oooouuuuh Rasa Cinta Bersabarlah menantinya........

2. Melihat, Menyaksikan dan Memandang

Pemahamanku tentang apa itu arti mencinta mengkrucut pada satu hal, untuk dapat benar-benar "mengalami rasa itu" dibutuhkan 3 hal pendukung. 3 hal yang dianggap memiliki satu padanan interpretasi yang sama, meski sejatinya kata itu berbeda makna. Seseorang dapat dikatan sedang terjatuh dan mencinta jika ia telah melewati 3 fasa jasmaniah.  "Melihat, menyaksikan dan memandang", ketiga hal tersebut memiliki pemahaman dasar yang berbeda. Untuk bisa mengamati, alur pertama adalah melihat, dimensi melihat adalah dimensi paling luar, dimensi sebuah pagar rumah bernama cinta, karena melihat hanya sekedar melalui dua bola mata. Saat berhasil melewati "pagar", kita masuk kedalam taman-halaman rasa, atau jika lebih gamblang, setelah terpesona "melihat" lewat mata, kita dituntun untuk "menyaksikan", karena menyaksikan ini tidak hanya dengan mata tapi juga melalui keriuh rendahan hati. Setelah "menyaksikan"dengan hati ini sudah cukup membuat terlena, dimensi paling privasi adalah"memandang", yaaa memandang, memandang itu tidak lagi dengan mata dan hati, tapi sudah di reaksikan menuju pertimbangan akal, pikiran dan nurani. Perasaan cinta ini aku rasa masih terlalu dini dan belum cukup utuh untuk dapat disimpulkan, karena aku baru mampu melihat lewat mata, sedikit masuk untuk "menyaksikan" melalui hati, dan belum sampai pada memandang dengan pertimbangan akal, pikiran dan nurani.

Barangkali aku masih merasa kesulitan menerjemahkan cinta. Bisa saja cinta ibarat angka judi yang berbicara untung dan rugi, bisa juga angka gambling, yang diburu antara kegamangan dan keyakinan, ataukah cinta seperti kata tanpa makna, sehingga siapa saja bebas menerka, semua orang merdeka mencari arti kata, dan tak dibatasi oleh ruang, waktu, serta padu padanan maknanya. Tapi sekian tahun waktu itu berlalu, mulailah akal dan fikiranku memberikan pertimbangan yang benar menurutku, bahwa sejatinya kau orang yang tepat menemani sisa hidupku. Tapi aku juga tidak memaksakan kehendakmu, aku juga tidak tahu Tuhan menakdirkan siapa yang beruntung bersanding bersamamu. Aaah entahlah, ku fahami jika cinta bagiku seperti Fatamorgana kebahagiaan yang sulit diidentifikasi ujung sandarannya. Aiiih kamu, setengah tulisan ini aku buat, kok ya tiba-tiba senyummu datang mengembang penuh kelembutan. Ditemani rintikan hujan, gerimis kota ini terkadang membuatku basah kuyup mengingatmu, aaaah kamu, sejuk udara pagi itu, membuat diriku kedinginan mengenangmu, Hufth lagi-lagi, panas matahari dan semilir angin itu, tak jarang membuatku terlena menerka-nerka tentang dirimu, dan masih ingatkah dirimu, lembut udara pegunungan saat itu, sampai-sampai membuat aku menggigil kala bertemu bayangan dirimu.

Yaaa Kala itu memang aku tak melihatmu, berjalan perlahan menuju suatu tempat, entah siapa yang memulai mengusik konsentrasiku, sehingga sorot mataku tertuju pada langkah kakimu. Orang bilang dari mata turun kehati, kalau memakai idiom yang sudah tertulis, bisa dikatakan dari melihat menjadi menyaksikan, tapi ternyata tidak barlaku bagiku, dari awal aku melihat dari situ pula aku belum berani untuk benar-benar menyaksikan. Aku hanya meyakinkan diriku untuk tak terpengaruh dan terperangah apa kata pujangga, “Cinta pada pandangan pertama”, aaaahhh, tak mau aku memakai romantika puitis itu, nggak, nggak mau. Aku mencoba berijtihad menerjemahkan, dengan intuisi bias pemahamanku mengenai “Pandangan Pertama”. Semakin penasaran, semakin aku terkulai dan terbuai. Masih saja egoisme mencari kesejatian “pandangan Pertama” belum surut, bagiku, tak bisa seseorang langsung dapat jatuh dan mencinta hanya sekedar pandangan pertama, kalaupun ada, itu sekedar nafsu batiniah dan kekaguman sesaat saja, pemikiranku saat itu. Seseorang mencintai harus mengerti, memahami, dan saling memiliki, jadi gak bisa sekali lihat langsung menyimpulkan, hash bulshit! (sekali lagi, pikiranku saat itu). Setelah cukup lelah aku bekejar-kejaran dengan resistensi batin dan ego, tak mampu aku membuktikan makna kontrapruduktif yang sedari awal ingin aku temukan. Meski sedikit gengsi, egoku dipaksa untuk mau mengakui, egoku dijegal tanpa arti untuk mau meng-amini bahwa “Cinta pada pandangan pertama” memang ada dan terbukti. Seiring berjalan waktu, seiring lingkungan mengajariku banyak ilmu, baru aku tahu, Cinta tidak butuh banyak alasan, cinta tidak mengerti argumentasi, cinta tidak harus memiliki, tapi sekuat tenaga milikilah cinta, cinta tak mau diterka-terka apalagi di eja, tidak, ia tidak mau. Milikilah cinta, dengan sendiri kamu akan semakin mengerti, mesrailah cinta, maka kedewasaan pikiranmu akan mengantarkan kepada sebuah pemahaman yang komprehensif. Jangan menyimpulkan cinta, karena ia tak sudi dikira-kira, jangan menjelaskan cinta karena cinta tidak berkenan untuk dideskripsikan. Meski masih ragu pada “Cinta pada pandangan pertama”, Tapi mau bagaimana lagi, ternyata itulah sejarah awal aku mengenalmu. Mencoba untuk bisa sekedar mengobrol denganmu, eh ndilalah kok ya keterusan. Ku dobrak-dobrak pikiranku untuk menggali kreatifitas mengenal dirimu lebih jauh, aaah awal-awal begitu rumit mengurai rantai DNA pribadimu. Aku terus berusaha mencoba untuk tak putus asa.  Sampai pada akhirnya, entah bagaimana latar narasinya, aku kau izinkan berkelana, sendiri, mengembara berusaha mempertahankannya,------------> Masih ku ingat raket itu, sebagai awal perjalanan mengenalmu, hhehee just nostalgia mbak. Tapi sampai saat ini, aaaah tak tahu bagaimana akhirnya.


3. Kejujuran Cinta

Hai Kamu, beberapa tahun yang lalu, begitu manisnya kamu menuntun diriku untuk terus berfikir, mentadabburi apa itu cinta, yang jelas terlalu rumit bagi manusia sepertiku memahami dan menelaah arti cinta tanpa dirimu yang mengajari. Hai cahayaku, salahnya langkahku mengartikan cinta perlahan berhasil kembali kau arahkan. Berkelok jalan kesunyian yang aku tempuh, terasa membahagiakan saat kau berdiri dipersimpangan, meski hanya sekedar berdiri, tak menyapa pun bagiku tak ada masalah. Mungkin inilah masalahnya, aku belum bisa jujur pada diriku sendiri apalagi kepadamu. Mentalku belum sekuat nyaliku membayangkanmu. Aku sadar, kejujuran sangat dibutuhkan dalam memulai jalinan menuju keseriusan, entah setan keraguan mana yang merasuk kalbu yang setiap saat kala ketemu dirimu membuat ciut nyaliku. Bukan keraguanku padamu, tapi keraguan rasa percaya diriku jika bertatapan denganmu. Ah rasanya kok ya terlambat mau jujur sekarang, terlambat mungkin kau sudah menjadi milik orang, mungkin juga gerbang perasaanmu telah kau sepakati untuk disudahi, tidak lagi terbuka untuk aku singgahi apalagi sampai aku tinggali, hahahaha terlalu konyol aku bermipi. "Hhhahaha sudah lama, sudah bertahun tahun yang lalu, sudah berapa kali ganti tanggalan yang baru, kok ya sekarang baru kamu ungkapkan, lucu, lucu, hahahaha," terkadang seperti itulah kedalaman nurani sengaja mengejekku. Aaah Sudahlah, sekarang aku ingin menyapamu kembali, Entahlah wahai sang putri, apakah kau bersedia menjelaskan satu kata berbeda selain kata “cinta”, karena perasaanku saat itu bahkan sampai saat ini jauh melebihi kata-kata itu.

Ketidakjujuranku menggambarkan kelemahanku, mendiskripsikan betapa nyiut nyaliku, menyeruak sifat kerdil perasaanku padamu. Hai Sang mentari kalbuku, seraya semakin hari semakin nyata bayanganmu, semakin nyata, semakin nyata, tetapi lagi-lagi bayangmu kabur dihardik oleh kecengengan jiwaku. Tapi sudahlah, aku akan menunggu mungkin juga dengan batasan waktu. Ya kamu mungkin juga tahu, waktuku saat ini juga masih tersibak oleh hadirmu. Bolehlah aku jujur mengatakan ini padamu. Bahwa kamu pernah hadir melembutkan jiwaku. Aku terkesima oleh mu, mungkin dari parasmu, mungkin tingkahmu, mungkin juga oleh tutur katamu, atau bahkan terpesona pada senyum manismu. Aaaah entahlah yang jelas aku mencintaimu karena keseluruhan diri dan pribadimu, termasuk segala kelemahan dan kelebihanmu. Jika memang kau bersedia mendengarkan, inilah sebuah kejujuran. Hatiku masih terpaku melihatmu, tersipu malu untuk menyapamu. Tak tahu apalah namanya, yang jelas dimensi cinta belum mampu mewakili spektrum perasaanku padamu.

Pernah suatu saat sering bahkan aku menitipkan salam pada semilir angin, pada nada pepohonan yang bergerak tersapu angin, tapi juga tidak memberikan hasil apa-apa, kucoba titipkan salam kepada orang-orang yang aku anggap dekat denganmu, dengan celotehan salam yang bermacam-macam. Hahahhaha tertawa rasanya kala mengingat hal itu, salam pertama yang aku sampaikan adalah salam SLANK. Salam itu mewakili masa lalu, kala awal berjumpa dengan dirimu. Aku buka arti katanya “SLANK, (Sudah Lama Aku Naksir Kamu)”, itu hanya sekedar kepanjangan katanya menurut anak-anak muda zaman sekarang, hanya kepanjangan nya saja, itu juga tidak mewakili panjangnya perasaan batinku menelusuri hatimu. Setelah perjalanan awal aku mengagumi mi kulanjutkan salam itu menjadi salam AIDS. Kenapa AIDS, serius, seringsekali aku terkena virus AIDS ini, Virus (Aku Ingin Disampingmu Selalu-masih menurut anak muda zaman sekarang). Salam-salam itu bermuara pada satu keinginanku kepadamu, aku ingin suatu saat kamu membalas salamku dengan Salam (Maaf) TAEK, iya TAEK aku harap kata itu muncul darimu, bukan kata-kata jorok menjijikkan yang aku maksudkan, kandungan arti TAEK itu (Tanpa Aku Engkau Kesepian), yaa ku akui bahwa aku kesepian tanpa hadirmu, minimal bayang-bayang fatamorgana dirimu saja mungkin sudah cukup menemani kesepianku. Semua salam ini mengkrucut pada keseriusan perkataanku padamu, bahwa kamu harus percaya bahwa perasaanku ini lebih dari kata JANCOK. Sungguh (Jangan ANggap Cintaku Omong Kosong). Nggak, aku tidak sedang ingin omong kosong, aku berkata serius dan penuh keta’dhiman hati, cintaku padamu seperti syair yang pernah aku tuliskan mewakili perasaanmu saat itu. Maaf mungkin aku sudah lancang telah menodai kepercayaanmu, tapi itulah syair jujur yang bergerak satu frekuensi juga dengan gambaran batinku, seperti perasaan batinmu dengan tambatan hatimu pada saat itu.

Pada saat kita komunikasi, bait yang kamu sukai berbeda dengan bait yang aku sukai. Kau menyukai bait bahwa tak ada perasaan yang patut diaku-akui tanpa sedikitpun keridhoan dari Tuhan yang mengilhami, tapi berbeda denganku, Aku menyukai bait terakhir yang menjelaskan, bahwa untuk mejaga perasaanku, diriku selalu saja berdoa“Semoga Perasaan Cintaku ini terjaga, terpelihara, dalam pasrah dan setia”. Tergolong nekad aku menuliskan ini, karena saat ini aku tak tahu bagaimana perasaanmu. Tapi mau bagaimana, kelemahanku mengutarakan kata dihadapanmu harus aku tutupi lewat sepenggal tulisan yang tentu saja belum bisa mewakili perasaanku, tapi setidaknya menutupi rasa frustasiku. Aku sadar inilah kehidupan, inilah romantika, inilah kenyataan, kehidupan tentu tak bisa diterka-terka sebagaimana cinta yang enggan di eja. Aku bahkan masih sadar, kalaupun perasaan ini bertepuk sebelah tangan, aku percaya bahwa kamu tidak pernah hilang, tapi hanya terlepas menuju kesejatian pasangan tulang rusuk yang telah ditakdirkan. Aku harus bisa memahami kata yang sering aku renungkan,  “Terkadang kehidupan membuka sedikit tabir bahwa segala sesuatu yang engkau damba-dambakan belum tentu bisa kau dapatkan, dan apa yang engkau dapatkan tidak memberikan jaminan apa-apa untuk benar-benar kamu inginkan”. Aku menginginkan meski aku harus belajar ikhlas jika suatu saat kamu tidak bisa aku dapatkan, tapi tentu, gerbang hatimu masih memberi waktu kan? ataukah sudah benar-benar kau tutup rapat?, secepatnya akan kupastikan hal itu.

Hai "engkau yang berarti panggilan", jika suatu saat entah kapan waktunya, aku ingin menjadi orang terdekat setelah keluarga dan sahabatmu, aku ingin menjadi orang yang mampu memegang erat jari-jarimu untuk selamanya, menjadi imam bagi keluarga kita, menjadi patner segala hal untuk menemukan masalah dan menjemput solusinya bersama-sama, menjadi bagian terpenting bagi kehidupan dunia dan akhiratmu, yaaa karena aku mencintaimu, berharap bisa hidup bersamamu, beribadah, mengabdikan diri, dan berbuat baik bersama-sama denganmu.

Wallahu a’lam Bishowwab,
Kesunyian hati di warung kopi, 10 Agustus 2013





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks...