Jumat, 31 Mei 2013

MENGILHAMI "KEHILANGAN"

Ini case yang baru-baru ini saya alami. Pertama sebuah motor milik seorang kawan yang hilang di rumah kos di kota palembang, dan yang kedua laptop milik saya dan dompet seorang kawan yang dicuri dalam waktu yang bersamaan di rumah kos dikota jakarta. Kata kerja nya sama, dengan objek, keterangan waktu, dan tempat yang berbeda. Sebelum saya lanjutkan dengan pemaparan berdasarkan sudut pandang, arah pandang, dan cara pandang yang saya punyai, ada rangkaian kalimat yang pernah dituturkan oleh Seorang Guru, beliau banyak mengajarkan kontempelasi pemikiran kepada para muridnya, kawannya dan jamaah diskusinya, beliau Emha 'ainun Nadjib, atau yang kerap dan akrab dipanggil cak nun, beliau mengatakan sbb:


"Untuk mencuri ternyata saya memerlukan tiga hal:
Pertama, sesuatu yang saya curi.
Kedua, saya memerlukan peluang waktu untuk melakukan pencurian.
Dan ketiga, saya membutuhkan suatu tempat untuk menyembunyikan sesuatu itu sesudah saya pindahkan dari tempatnya yang semula.
Jadi, dengan sekali mencuri, dosa atau kesalahan saya akan bertumpuk-tumpuk.
SESUATU yang saya curi itu sudah pasti bukan milik saya.
WAKTU yang saya pakai untuk mencuri pun bukan milik saya.
Dan seandainya pihak yg berhak atas WAKTU meminjamkannya kepada saya, maka pasti ia tidak akan mengizinkan WAKTU saya pakai untuk mencuri.
Begitu juga TEMPAT yang saya gunakan untuk menyembunyikan barang curian itu jelas bukan milik saya pula.
Sebab saya tidak pernah bisa menciptakan ruang, tanah, dunia, alam atau apapun saja, sehingga bagaimana mungkin saya pernah benar-benar punya hak atas suatu tempat.
Belum lagi kalau saya hitung bahwa tangan, kaki, otak, mata, telinga, darah, tenaga dan lain sebagainya_yang semua saya kerahkan untuk melakukan pencurian, ternyata juga sama sekali bukan milik saya.
Jadi, sekali mencuri, langsung saya dapatkan puluhan kesalahan, atau bahkan mungkin ribuan dosa”, -Cak Nun-".


Dari sini mari kita bersama-sama mempelajari. Mungkin bukan hanya saya dan teman saya, tapi juga anda, keluarga, serta saudara anda pun pernah mengalami hal serupa. Kehilangan sesuatu yang berharga, Berharga dari segi materiil, berharga karena substansi kenangan yang tertempel didalamnya, berharga karena menyangkut aktifitas anda, berharga karena berisi document project pekerjaan yang saat ini sedang anda jalankan, atau berharga karena secara fungsinya, dsb. Kadangkala orang yang kehilangan laptop lebih menderita dibandingkan dengan orang yang kehilangan motor misalnya. Penderitaan yang tercermin bukan karena harga laptop tersebut, tapi lebih karena dokumen dan file yang tersimpan didalamnya bernilai sekian lipat dari harga motor. Itulah sebabnya, nilai suatu benda bukan saja dilihat dari harganya. Lantas bagaimana reflek kita dalam merespon kejadian tersebut? Seringkali kita sedih, tentusaja, marah, wajar, tak jarang kita histeris, manusiawi, menggerutu tak henti-henti, yaa bisa dipahami, menyumpah, melaknat, mengutuk si pencuri, yaa sangat normal. Lantas kalau boleh pertanyaan tersebut saya lanjutkan, bagaimana perasaan setelah itu?

Senin, 27 Mei 2013

Belajar "Nyunggi"


Sore itu, entah hari apa dan tanggal berapa tepatnya, aku sudah lupa, yang jelas saat itu bulan januari, Bulan dimana aku dipertemukan dengan seorang nenek tua, dengan semangat memanggul tumpukan kardus yang diletakkan diatas kepala, ia tumpu kan kardus ditempat yang sejatinya bukan tumpuan seharusnya. Perlu aku informasikan bahwa tulisan jalanan kali ini terinspirasi dari seorang wanita pemungut kardus, yang telah mengajarkan sebuah tanggungjawab yang tak pernah pupus.

Yaa beliau seorang wanita, ia seorang ibu yang kuat, bahkan mungkin seorang nenek yang tegar, raut wajahnya terlihat menua meski tak cukup renta. Dengan sisa energi yang ada, ia berjalan melewati portal perumahan. Tetap saja bekerja sekuat tenaga meski dunia pongah terhadap keberadaannya, raut pipinya menggambarkan ia bukanlah seorang yang cengeng terhadap keadaan yang dihadapinya. Tegak jalannya, mantap tatap pandangnya. Meski berat pikulannya tetap saja ketabahan yang ia pancarkan. Meski berat ikatan kardus yang dibawanya, ia tidak mau terlena, terlihat jelas dari bibir keriputnya. Setengah siang ia berjalan sambil sesekali menyeka keringat, menghindari panas kota surabaya dibawah lindungan rerumbutan pohon yang berjajar di tengah perumahan yang agak megah. Langkah demi langkah, sesekali berhenti menghirup lebih dalam udara disekelilingnya.

Dengan beberapa ikat kardus yang di "sunggi" diatas kepala, ia acuh terhadap keluh dan kesah, cukup mesra dengan aktifitasnya, meski terlihat sedikit memaksa. Baginya, yang terpenting terus "nyunggi", terus "mengemban", lingkungan tidak memberikan jaminan apa-apa kecuali dirinya sendiri yang menciptakan peluang.

Kamis, 23 Mei 2013

BOCAH PENGAMEN BERSAUDARA

Udara sore itu lumayan sejuk, hujan yang satu jam lalu mengunjungi kota ini (sensor, hhehe), masih meninggalkan pesan sejuk untuk dapat dihirup. Udara sore ini benar-benar bersahabat, rasanya ingin cepat-cepat balik ke kos sekedar melepas penat hari itu. Satu hal yang membuat langkah kaki semakin berat diayunkan, karena perut ini sudah mulai bernyanyi lagu sendu, pertanda aku harus terlebih dahulu memenuhi undangan perut yang semakin lesu.

Ku tinggalkan beberapa pekerjaan yang sedikit belum kelar aku kerjakan, meskipun jadwal pulang kantor sudah lewat beberapa jam. Sudahlah, ku coba menjaga metabolisme asupan tubuh biar berjalan lebih teratur. Ku coba keluar dari ruangan kantor menuju pinggir jalan raya, sembari berharap ada orang jualan yang lewat didepan kantor. Kali aja ada tukang nasi goreng yang berseliweran kayak disurabaya. Agak lama aku menunggu nampaknya belum ada perjodohan yang dipertemukan dengan perut yang semakin keroncongan ini. Saat masih asyik berdiri diatas alas ketidakpastian, seorang kawan berteriak dari belakang mengagetkan lamunan ku menunggu abang tukang nasi.

"Ngapain lu brey,?" Tanyanya,

"Cari makan jeh, perut laper nih", jawab ku sambil meringis,

"Yaelah, jangan ditunggu bro, gak bakal ada yang lewat, udah kita cari makan diluar aja", timpalnya.

"Bolehlah, kita cari makan diluar, mau cari apa?" Kejar ku,

"Dingin gini, makan nasi sup ceker pedes manteb nih bro,".

"Cocok bro, lanjuuut," jawab ku gak pakai lama.

Minggu, 19 Mei 2013

BAHAGIA ITU???

Gembira, senang dan bahagia, 3 kata yang mungkin setiap orang memiliki penafsiran makna yang berbeda-beda. Sampai saat ini, sampai kalimat ini aku tulis, aku belum menemukan definisi dari ke 3 kata tersebut, sama halnya aku juga kesulitan mendefinisikan kata suka, kagum, sayang dan cinta. Yang aku yakini, definisi paling benar adalah yang berada dalam hati masing-masing orang. Setiap orang pastinya memiliki parameter yang tidak sama, pun untuk mewujudkan perasaan tersebut, setiap individu tidak serupa. Ada yang gembira saat mereka telah diwisuda, ada yang merasa senang karena orang yang dia cintai telah datang, ada yang bahagia saat apa yang menjadi keinginannya dapat terwujud dengan mudah dll dsb. Ada yang output dari kegembiraannya dia tertawa dengan lepas. Dan itu semua masih sah dan tidak ada pasal yang melarang tindakan tersebut. Kebahagiaan dan kegembiraan yang ia pancarkan tergantung momen yang ia rasakan.

Ada satu cerita terkait penilaian orang terhadap kata "bahagia" itu. Beberapa minggu lalu, saat baru saja aku menginjakkan kaki di salah satu kota di Sumatera Selatan (kota terjauh yang pernah aku singgahi), aku mendapat beberapa tawaran dari teman-teman untuk mencari "kebahagiaan" yang mereka perhalus dengan istilah "refreshing". Beberapa kawan mengatakan dipalembang tidak seperti di pulau jawa, surabaya, atau jakarta misalnya. Disini hanya ada 4 mall (kalau gak salah), dan dari sekian mall hanya ada 1 bioskop disalah satu mall itu. Saat beberapa minggu awal khususnya weekend sering aku mengikuti teman-teman ke mall, meski untuk sekedar makan, nongkrong dan nonton, bagi mereka "inilah satu-satunya tempat untuk melepas penat, satu-satunya tempat dari seluas tempat yang bisa bikin mata menjadi segar, yang bikin bibir tersenyum lebar, hanya itu dan hampir tiap minggu tempat inilah yang mereka tuju, woooow!!!"

Sabtu, 18 Mei 2013

RENUNGAN JALANAN

Aku terpesona, hatiku terkesima, mataku terpana, ketika harus menyaksikan ketabahan manusia dengan segala keterbatasannya, menghadapi dinginnya malam kota Surabaya.


Malam itu, 00.30 WIB, malam penghubung antar bulan (Juni-Juli), batas akhir bulan juni dan penanda awal juli, aku melakukan perjalanan. Perjalanan yang memang aku sengaja adanya. Dinginnya malam kota surabaya mulai menerobos masuk kedalam tulang sum-sum, melewati batas tebal jaket yang aku kenakan. Biar saja suhu yang dingin ini mengalihkan kesunyian batin dan fikiranku. Ku pacu saja Jupiter Z melawan udara malam. Aku sudah ada niatan melakukan apa, tapi belum ada niatan mau kemana. Tetap saja ku pacu motorku menyusuri tepian surabaya. Ada dua pemandangan yang terlihat sangat bertolak belakang, disaat aku melewati tengah kota, satu kutub menampilkan “kebahagian semu”, para muda-mudi yang menikmati malam, sekumpulan group motor yang berjajar memamerkan keindahan motornya, club malam bergemuruh berpacu dengan lentikan suara karaoke, mereka menghabiskan malam, meluapkan kejenuhan dengan mencari kebahagiaannya masing-masing. Satu kutub yang lain menampilkan magnet yang berbeda, mereka yang berada dipinggiran jalan, bergerombol dan hanya mampu memamerkan keindahan becak dan gerobaknya, seorang wanita paruh baya tetap setia terjaga didalam lapak dagangannya. Apa mungkin setiap hari mereka menghabiskan malam diatas becaknya, terlelap ditimang mimpi. Mereka tertidur nyenyak dengan “ac” alami yang mereka andalkan. Mereka berbaring seperti itu sepanjang sisa malam, menanti cahaya fajar yang membelah keheningan rembulan. Mungkin kesederhanaan becak dan lapak itulah, satu-satunya tempat curhat dan memelihara harapan. Ku susuri juga beberapa tempat pembuangan sampah. Tengah malam pun ada saja yang masih beraktifitas memilah-milah buangan limbah. Tak bisa aku berbuat apa-apa, atau minimal berkata-kata. Lelahku secuilpun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ketabahan mereka. Aku berjalan dengan membawa “bekal materi” yang sengaja aku sediakan buat sebagian dari mereka, Cuma beberapa orang dari sekian banyak orang yang aku jumpai. Yaa sebagian saja, maaf, memang aku belum mampu membagikan “bekal” buat semua yang aku temui, karena tak bakal cukup bekal itu aku berikan kepada mereka.

Seorang pria yang sudah pantas menyandang gelar “kakek”, memunguti sampah kertas dipinggir jalan, Dia bekerja di tengah keremangan malam. Mengumpulkan “Rezeki” di sepanjang jalan yang dilalui. Kertas yang sudah dikumpulkan, diikat dan diletakkan diatas becaknya yang sederhana. Aku terguncang batinku mengambang, Aku hanya bisa membatin, sudah tidak seharusnya seorang kakek yang cukup tua bekerja seperti itu, tapi bagaimana lagi jika keadaan yang memaksa. Dari gerak langkahnya, aku bisa menyimpulkan bahwa dia bukanlah kakek yang cengeng dan melankolis,

KAWAN DAN MASA LALU

Wahai kawan, inginku berbagi cerita kepada kamu semua,

Layaknya dulu kita tertawa-tawa bahagia melepas susah.
Aku bercerita, kau dengarkan dengan seksama,
Sesekali kau menimpali dengan ocehan khas Jawa Timuran, yang lazim kita sebut dengan "gojlokan".
Begitu juga sebaliknya, saat kau yang bercerita,
Aku mendengarkan dengan ceria,
Meskipun kenyataannya aku hanya berpura-pura.
Aaah tapi itu pun tidak menjadi masalah,
Toh obrolan itu masih bernuansa mesra.

Wahai kawan,
Inginku berbagi nostalgia
Kepada kamu semua, tentang apa saja, semuanya,
Yang dengan sengaja maupun tidak, pernah kita torehkan bersama-sama.

Wahai teman,
Ingin rasanya aku berkumpul dengan kalian semua,
Kembali bersama, menjalani aktifitas, melewati tikungan waktu dan masa,
Meskipun hanya beberapa saat saja,
Sekedar untuk mengobati rasa penat yang melanda.

Thanks...