Sore itu, entah hari apa dan tanggal berapa tepatnya, aku sudah lupa, yang jelas saat itu bulan januari, Bulan dimana aku dipertemukan dengan seorang nenek tua, dengan semangat memanggul tumpukan kardus yang diletakkan diatas kepala, ia tumpu kan kardus ditempat yang sejatinya bukan tumpuan seharusnya. Perlu aku informasikan bahwa tulisan jalanan kali ini terinspirasi dari seorang wanita pemungut kardus, yang telah mengajarkan sebuah tanggungjawab yang tak pernah pupus.
Yaa beliau seorang wanita, ia seorang ibu yang kuat, bahkan mungkin seorang nenek yang tegar, raut wajahnya terlihat menua meski tak cukup renta. Dengan sisa energi yang ada, ia berjalan melewati portal perumahan. Tetap saja bekerja sekuat tenaga meski dunia pongah terhadap keberadaannya, raut pipinya menggambarkan ia bukanlah seorang yang cengeng terhadap keadaan yang dihadapinya. Tegak jalannya, mantap tatap pandangnya. Meski berat pikulannya tetap saja ketabahan yang ia pancarkan. Meski berat ikatan kardus yang dibawanya, ia tidak mau terlena, terlihat jelas dari bibir keriputnya. Setengah siang ia berjalan sambil sesekali menyeka keringat, menghindari panas kota surabaya dibawah lindungan rerumbutan pohon yang berjajar di tengah perumahan yang agak megah. Langkah demi langkah, sesekali berhenti menghirup lebih dalam udara disekelilingnya.
Dengan beberapa ikat kardus yang di "sunggi" diatas kepala, ia acuh terhadap keluh dan kesah, cukup mesra dengan aktifitasnya, meski terlihat sedikit memaksa. Baginya, yang terpenting terus "nyunggi", terus "mengemban", lingkungan tidak memberikan jaminan apa-apa kecuali dirinya sendiri yang menciptakan peluang. Baginya "nyunggi" juga membutuhkan keseimbangan, menyeimbangkan antara yang dibawa dengan cara kakinya melangkah, seimbang antara berat sebelah kanannya dan sebelah kirinya, satu saja momen tidak seimbang jatuhlah apa yang telah susah payah ia bawa. Barangkali filosofi "keseimbangan" itulah yang tanpa sengaja ia praktekkan dalam kehidupannya, Ia pun tahu kapan saat berdiam diri dan kapan ia kembali me"nyunggi".
Kalimat "Nyunggi / sunggi" adalah sebuah istilah jawa yang sulit dicari spesifikasi terjemahan katanya. Agar lebih mudah kita definisikan, "Nyunggi" adalah membawa/ meletakkan sesuatu diatas kepala. Sekilas kalimat ini mengingatkan saya pada salah satu syair "Gundul-gundul Pacul" yang sangat "sufistik-filosofis". Kurang lebih disalah satu kalimat syairnya berbunyi "Nyungi-nyunggi wakul kul, gembelengan". ini juga memiliki tafsir pemaknaan yang cukup luas, silahkan bisa anda cari maknanya atau bahkan bisa anda diskusikan maksud terjemah sastranya. Kembali pada topik "nyunggi", menurut pemahaman dan arti "kiasan" yang saya ketahui, nyunggi juga bisa diartikan mengemban (tentu lewat konteks bahasan yang berbeda). Nyunggi kardus yang beliau lakukan itu hanyalah sebuah aktifitas tersurat dari yang terlihat, tetapi mari kita pelajari lebih mendalam. Dari interpretasi yang tersirat, beliau sebenarnya telah menginformasikan, bahwa beliau tidak hanya nyunggi kardus, tetapi beliau juga "nyunggi" tanggungjawab, yaa beliau telah memikul tanggungjawab yang luas, lebar, serta mendalam.
Tanggung jawab yang luas maksudnya, dengan cara memunguti kardus beliau mampu mempertanggungjawabkan kehidupan, setidaknya usaha keras yang ia tampilkan, siang bahkan sampai malam, menggambarkan ia tidak hanya mengandalkan sebuah belas kasihan.
Tanggungjawab yang lebar maksudnya, dari pongahnya kehidupan itu, ia jadikan aktifitas memunguti kardus itu sebagai rutinitas profesi. Ia cukupkan kebutuhan hidup lewat "berapa Kg" kardus yang berhasil ia kumpulkan, lewat pilahan kertas bekas dan lewat plastik yang terbuang, mungkin itulah yang dimaksud tanggungjawab yang melebar.
Terakhir adalah tanggung jawab yang mendalam, apa maksudnya? Dengan memunguti kardus, ia sandarkan kebutuhan keluarga, mungkin untuk biaya sekolah sang anak, mungkin untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, atau bahkan karena beliau saat ini menjadi tulang punggung dan tumpuan harapan keluarga, entahlah, hanya Tuhan, ia dan keluarganya yang lebih faham.
Besar tanggungjawabnya, seperti besarnya tenaga yang dibutuhkan untuk nyunggi beberapa tumpukan kardus yang terbuang.
Kekuatan tubuhnya menerima keadaan, Sekuat batinnya menerima kondisi yang menyedihkan.
Ia menyadari bahwa kehidupan tidak hanya mengajarkan bagaimana mengeluhkan keadaan, tapi ia juga sadar, bahwa kehidupan juga mengajarkan bagaimana memesrai kesulitan. Raut wajahnya menggambarkan kesulitan bukanlah satu-satunya rintangan yang menjatuhkan hidupnya, justru kesulitan adalah kawan yang kelak akan memperbaiki kehidupan, entah saat itu, esok, ataupun lusa baru bisa dirasakan oleh anak cucu keturunannya. Semoga....
Salam hangat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar