"Untuk mencuri ternyata saya memerlukan tiga hal:
Pertama, sesuatu yang saya curi.
Kedua, saya memerlukan peluang waktu untuk melakukan pencurian.
Dan ketiga, saya membutuhkan suatu tempat untuk menyembunyikan sesuatu itu sesudah saya pindahkan dari tempatnya yang semula.
Jadi, dengan sekali mencuri, dosa atau kesalahan saya akan bertumpuk-tumpuk.
SESUATU yang saya curi itu sudah pasti bukan milik saya.
WAKTU yang saya pakai untuk mencuri pun bukan milik saya.
Dan seandainya pihak yg berhak atas WAKTU meminjamkannya kepada saya, maka pasti ia tidak akan mengizinkan WAKTU saya pakai untuk mencuri.
Begitu juga TEMPAT yang saya gunakan untuk menyembunyikan barang curian itu jelas bukan milik saya pula.
Sebab saya tidak pernah bisa menciptakan ruang, tanah, dunia, alam atau apapun saja, sehingga bagaimana mungkin saya pernah benar-benar punya hak atas suatu tempat.
Belum lagi kalau saya hitung bahwa tangan, kaki, otak, mata, telinga, darah, tenaga dan lain sebagainya_yang semua saya kerahkan untuk melakukan pencurian, ternyata juga sama sekali bukan milik saya.
Jadi, sekali mencuri, langsung saya dapatkan puluhan kesalahan, atau bahkan mungkin ribuan dosa”, -Cak Nun-".
Dari sini mari kita bersama-sama mempelajari. Mungkin bukan hanya saya dan teman saya, tapi juga anda, keluarga, serta saudara anda pun pernah mengalami hal serupa. Kehilangan sesuatu yang berharga, Berharga dari segi materiil, berharga karena substansi kenangan yang tertempel didalamnya, berharga karena menyangkut aktifitas anda, berharga karena berisi document project pekerjaan yang saat ini sedang anda jalankan, atau berharga karena secara fungsinya, dsb. Kadangkala orang yang kehilangan laptop lebih menderita dibandingkan dengan orang yang kehilangan motor misalnya. Penderitaan yang tercermin bukan karena harga laptop tersebut, tapi lebih karena dokumen dan file yang tersimpan didalamnya bernilai sekian lipat dari harga motor. Itulah sebabnya, nilai suatu benda bukan saja dilihat dari harganya. Lantas bagaimana reflek kita dalam merespon kejadian tersebut? Seringkali kita sedih, tentusaja, marah, wajar, tak jarang kita histeris, manusiawi, menggerutu tak henti-henti, yaa bisa dipahami, menyumpah, melaknat, mengutuk si pencuri, yaa sangat normal. Lantas kalau boleh pertanyaan tersebut saya lanjutkan, bagaimana perasaan setelah itu? Puas, lega, tenang, tentram, damai, kembali senang, bahagia, dan yang pasti apakah barang yang hilang bisa kembali lagi? Sampai saat ini, sering saya berdialog dengan teman-teman, menjumpai kawan saat barang hilang rasanya prosentase barangnya kembali sangat kecil, probabilitas barangnya kembali lagi juga rendah. Ketenangan hati, kejernihan pikiran, dan kedewasaan sikap akan mengantarkan kita pada ketepatan emosional dan spiritual. Orang marah hanya akan memacu detak jantung dan sistem metabolisme yang tidak teratur, dan bisa jadi hal itulah yang mengundang datangnya penyakit, darah tinggi misalnya. Amarah bikin manusia “kalap” kebingungan arah, karena amarah mengizinkan yang benar jadi salah dan meng-amini yang salah jadi benar. Boleh emosi asal jangan brutal, sah saja marah asal jangan berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan itu juga kurang baik. Buatlah batasan amarah, milikilah arahan atas kemarahan tersebut, karena sesungguhnya kemarahan tidak akan menentramkan, saya yakin akan hal itu, bahkan sangat yakin.
Dalam hal penyikapan semacam ini, menurut saya ada dua jenis perspektif. Jenis pertama yaitu perspektif dunia dan yang kedua perspektif akhirat. Perspektif dunia wujud spontanitas yang dimunculkan berupa reaksi kemarahan serta amarah yang membabi buta terhadap kehilangan tersebut. Oleh karena itu, agar tenaga dan energi kita tidak sia-sia, mari coba sama-sama gunakan perspektif akhirat, yang muara reaksinya menuju pada keikhlasan hati dan jiwa besar menghadapi cobaan. Perspektif dunia, orientasi terbesar tertuju pada kalkulasi ekonomis yaitu pada benda yang hilang, sedangkan perspektif akhirat orientasinya lebih kepada latar belakang dan pemahaman yang religius dan teologis. Maksudnya seperti apa?, kalau pemahaman dunia, saat barang saya beralih dari yang semula 100% kepemilikan ada ditangan saya, menuju orang yang 100% tidak berhak atas barang tersebut, maka rasa kehilangan yang saya timbulkan akan sangat reaktif. Saya merasa malas melakukan apa-apa, dan sebagai manusia normal jelas muncul gejolak kontraproduktif yang lazim kita sebut “balas dendam”, asal saya tahu siapa yang mengambil barang itu, akan aku hajar habis-habisan, akan aku seret-seret menuju kantor polisi, pokoknya gak akan saya maafkan ia.
Pemahaman yang multidimensional dan teologis akan memberikan reaksi yang sangat berbeda. Alur reaksi yang ditimbulkan juga berbeda. Orang yang menggunakan perspektif akhirat dijamin tidak akan mendahulukan egosentrisme individu, kalau bahasa agamanya, dia akan terlebih dahulu ber “husnudzon” atas kejadian yang menimpanya. Ingat pesan cak nun yang sudah saya kutip pada barisan kalimat diatas, orang mencuri saja memerlukan banyak keahlian, dan tanggungjawab moral yang diemban juga begitu besar, bahkan sangat besar sekali. Jadi urusan pencuri, bukan lagi menjadi urusan kita, murni si pencuri akan mempertanggungjawabkan perilakunya kelak dihadapan Tuhan. Toh, tanpa diadili, mereka telah mendapatkan pengadilan moral yang cukup besar, pertentangan batin dan nafsu justru lebih menyiksa, daripada sekedar pengadilan formal. Tentu saya tetap setuju, bagaimanapun ketika tertangkap basah berdasarkan bukti ontetik, hukuman formal perlu diberikan, sebagai tanggungjawab sosial kemasyarakatan. Beda lagi apabila pihak yang terdzolimi memiliki ketangguhan mental, ia terlebih dahulu akan berhusnudzon “Mungkin saja kondisi ekonomi memaksa dia melakukan hal tersebut, mungkin saja ada uang tak halal yang bersemayam dalam kantong saya, sehingga Tuhan mensucikan rezeki saya lewat jalan kehilangan tersebut, mungkin saja selama ini saya telah lalai dengan kewajiban zakat dan sedekah, mungkin saja saya kurang peka dengan kondisi kemiskinan yang ada, sedangkan saya, masih saja merasakan kenikmatan tanpa melirik sana dan sini, dsb”. Kehilangan akan menjadi ketentraman, ketenangan dan kedamaian hati jika kita memang berniat dan berusaha mentadabburi (menghikmahi), sebaliknya kehilangan akan menjadi kerumitan dan bikin sakit hati jika kita tidak pandai dalam mengilhami kejadian yang menguji ketabahan. Sifat husnudzon akan mengantarkan pada proses kedewasaan dan evaluasi diri menuju pribadi yang lebih baik.
Secara realitas dunia dan kaca mata materiil, barang yang hilang menjadikan kita rugi dunia. Tetapi beda cerita kalau kita ikhlas dan rela atas apa yang telah terjadi, kita tidak lagi menjadi rugi, malah kita untung dunia akhirat. Untung dunia, ketika kita yakin bahwa Tuhan akan mengganti dan memberi yang lebih baik, barang yang hilang akan Tuhan ganti dengan berkali lipat bentuknya, jumlahnya, atau bahkan manfaatnya. Sedangkan Untung akhirat maksudnya adalah, jika kita yakin bahwa ketabahan yang kita tunjukkan, akan menjadi ladang pahala dan kebaikan buat sangu menghadap Tuhan. Sebaliknya jika masih saja belum ikhlas justru kita tidak mendapatkan untung apa-apa, justru kerugian lah yang kita dapatkan, rugi kehilangan barang dan rugi kehilangan energi. Coba saja saat kita kehilangan kita bantu dengan berdo’a, “Tuhan sadarkanlah mereka yang mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, dan berikanlah ketabahan pada diri saya untuk menghadapi ini semua”. Yakinlah, tidak akan sia-sia apa yang sudah kita ucapkan sebagai do’a. Tuhan lho Maha Mendengar. Asal kita memiliki kekuatan iman untuk meyakini hal itu.
Saat saya atau teman saya yang kehilangan dompet atau motor, pasti merasa sangat kehilangan, karena, mungkin saja motor yang ia punya, ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya sekian lama, mungkin kawan saya yang kehilangan dompet juga merasa begitu terpukul, karena didalam dompet, bukan masalah jumlah uangnya yang hilang, tapi surat-surat penting didalamnya, STNK, SIM, KTP, Rekening, atau surat penting lainnya, atau bahkan saat saya yang sangat sedih kehilangan laptop yang berisi puluhan GB document penting dan referensi keilmuan yang saya kumpulkan beberapa tahun lamanya, hanya dengan hitungan detik lenyap begitu saja. Lantas mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah menjadi abu, ratapan yang terus menerus mengakibatkan setress yang berkepanjangan.
Sedikit demi sedikit baru aku sadari, tak ada satu hal pun didunia ini yang terjadi secara kebetulan dan sia-sia, semua pasti ada hikmahnya, meskipun yang kita alami itu berupa musibah. Konsep akhirat mengajarkan bahwa tidak ada satu benda pun didunia ini yang sejatinya menjadi hak milik kita. Semua adalah titipan, satu titipan yang harus kita jaga keamanan eksistensinya, tetapi jika suatu saat titipan itu diambil oleh yang punya, kita gak bisa apa-apa, dan rela gak rela harus kita berikan, meskipun barang itu sudah kita rawat sedemikian penuh kasih sayangnya. Jangankan barang, diri kita sendiri ini sebuah titipan, bagaimana bukan titipan, orang awalnya kita ini tiada dan kelak akan kembali menuju ketiadaan. Hilangnya barang atau suatu benda apapun saja, dekati dengan konsep teologi, maka perasaan ini akan menjadi tentram, menjadi damai dan aman.
Innalillahi Wa inna Ilaihi Roji’un.
Wallahu a’lam Bisshowwab,
Semoga Bermanfaat
Palembang, 01 Juni 2013
Gambar :
1. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgy5wA19Ux4wTI2npwedSe9cDSepY4NELUUCViIfez55pd01bcaxnvjoyE45yl6fJjv67HVn1WrjpW6qFzRcxdkoWzH9I5QjOkxH0ANXYA00VN5EsXl4WoKHPxhc-hsBDcG1VMDxskJtxM/
2. http://www.tubasmedia.com/wp-content/uploads/2012/03/120312-hukum1.jpg
3. http://santribaniimali.files.wordpress.com/2011/12/sabar-dan-sykur-24.jpg
gw juga pernah kehilangan motor wkt di jakarta, asli udah seminggu gw masih berasa kesel bgt.di lampung gw juga kehilangan jam dan 2 HP, awalnya ga curiga sama tetangga kost sampai akhirnya HP gw ilang untuk ke 2 kalinya. Entah gw kurang beramal apa kurang ganteng, gw g ngerti dah.
BalasHapusBtw nice blog bro....
find me at http://blognyayandi.blogspot.com/