Aku terpesona, hatiku terkesima, mataku terpana, ketika harus menyaksikan ketabahan manusia dengan segala keterbatasannya, menghadapi dinginnya malam kota Surabaya.
Malam itu, 00.30 WIB, malam penghubung antar bulan (Juni-Juli), batas akhir bulan juni dan penanda awal juli, aku melakukan perjalanan. Perjalanan yang memang aku sengaja adanya. Dinginnya malam kota surabaya mulai menerobos masuk kedalam tulang sum-sum, melewati batas tebal jaket yang aku kenakan. Biar saja suhu yang dingin ini mengalihkan kesunyian batin dan fikiranku. Ku pacu saja Jupiter Z melawan udara malam. Aku sudah ada niatan melakukan apa, tapi belum ada niatan mau kemana. Tetap saja ku pacu motorku menyusuri tepian surabaya. Ada dua pemandangan yang terlihat sangat bertolak belakang, disaat aku melewati tengah kota, satu kutub menampilkan “kebahagian semu”, para muda-mudi yang menikmati malam, sekumpulan group motor yang berjajar memamerkan keindahan motornya, club malam bergemuruh berpacu dengan lentikan suara karaoke, mereka menghabiskan malam, meluapkan kejenuhan dengan mencari kebahagiaannya masing-masing. Satu kutub yang lain menampilkan magnet yang berbeda, mereka yang berada dipinggiran jalan, bergerombol dan hanya mampu memamerkan keindahan becak dan gerobaknya, seorang wanita paruh baya tetap setia terjaga didalam lapak dagangannya. Apa mungkin setiap hari mereka menghabiskan malam diatas becaknya, terlelap ditimang mimpi. Mereka tertidur nyenyak dengan “ac” alami yang mereka andalkan. Mereka berbaring seperti itu sepanjang sisa malam, menanti cahaya fajar yang membelah keheningan rembulan. Mungkin kesederhanaan becak dan lapak itulah, satu-satunya tempat curhat dan memelihara harapan. Ku susuri juga beberapa tempat pembuangan sampah. Tengah malam pun ada saja yang masih beraktifitas memilah-milah buangan limbah. Tak bisa aku berbuat apa-apa, atau minimal berkata-kata. Lelahku secuilpun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ketabahan mereka. Aku berjalan dengan membawa “bekal materi” yang sengaja aku sediakan buat sebagian dari mereka, Cuma beberapa orang dari sekian banyak orang yang aku jumpai. Yaa sebagian saja, maaf, memang aku belum mampu membagikan “bekal” buat semua yang aku temui, karena tak bakal cukup bekal itu aku berikan kepada mereka.
Seorang pria yang sudah pantas menyandang gelar “kakek”, memunguti sampah kertas dipinggir jalan, Dia bekerja di tengah keremangan malam. Mengumpulkan “Rezeki” di sepanjang jalan yang dilalui. Kertas yang sudah dikumpulkan, diikat dan diletakkan diatas becaknya yang sederhana. Aku terguncang batinku mengambang, Aku hanya bisa membatin, sudah tidak seharusnya seorang kakek yang cukup tua bekerja seperti itu, tapi bagaimana lagi jika keadaan yang memaksa. Dari gerak langkahnya, aku bisa menyimpulkan bahwa dia bukanlah kakek yang cengeng dan melankolis, sudah terbiasa dia bersahabat dengan kerasnya kehidupan. Kuhampiri saja lelaki tua itu, dan kuberikan “sedikit bekal” yang aku bawa, berharap bisa mengurangi beban hari itu. Minimal bisa untuk tambahan beli minum atau jajanan ringan. Sang kakek terlihat begitu semangat bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilakoninya, tak ada sedikitpun ekspresi yang menginformasikan jika dia menyesal, atau sekurang-kurangnya mengeluhkan kondisi yang ada. Hanya ekspresi letih yang sesekali tercurah dari wajah beliau yang terlihat hampir keriput. Rambutnya yang putih, punggungnya yang mulai ringkih, sorot matanya yang mulai letih, telah mengajarkan kepadaku arti penting kehidupan (syukur dan ikhlas). Baginya mengeluh tidak akan pernah mengenyangkan, tidak pula dapat mengurangi beban, yang ada malah memperberberat dan menumpuk beban. Sambil berpamitan, aku tinggalkan kakek itu, berharap kepergianku tidak lagi mengganggu aktifitasnya. Terlihat begitu jelas dari kejauhan, jika sang kakek terus berpacu dengan becak memanfaatkan segenap tenaganya yang masih tersisa. Ia relekan impian saat tidurnya lenyep diterkam malam, hilang terbawa angin ketidakberdayaan. Ku tatap dari spion motor dan dalam hati kuucapkan salam perpisahan. Setelah itu kujejaki jalanan ini, melenggang menuju tempat yang lebih sunyi.
Motor berhenti disuatu tempat diantara “Keheningan” dan “kebahagiaan”. Sungai ibarat keheningan dan taman itulah ibarat kebahagiaan. Seorang pria yang tidak begitu tua juga tidak begitu muda sedang memulung barang apa saja yang bisa ditukar dengan uang. Kuhentikan motor dan kembali aku berikan sedikit bekal yang aku bawa. Beda dengan sang kakek yang aku temui pertama, sang lelaki ini sudah tampak kelelahan, sudah terlihat capek, sehingga agak kehabisan tenaga saat memunguti barang-barang yang tersisa dipinggir jalan. Setelah “bekal” aku berikan, kutinggalkan kembali lelaki itu, dengan harapan yang sama, semoga kepergianku tak lagi mengganggu aktiftasnya dan bekal tersebut sedikit bisa mengurangi lelah malam itu.
Saat motor berjalan berjarak sekitar 300 meter dari tempat lelaki itu, aku harus menuntun motorku, ban bocor ditengah dinginnya malam. Cukup jauh untuk menemukan tukang tambal ban, mungkin karena tengah malam dan gelap sepi, tukang tambal ban pun ingin beristirahat. Kutemukan 3 tambal ban tetapi tidak berpenghuni. Terus saja kujalankan motorku, menyusuri jalanan yang sunyi. Sekitar 1,5 Km motor berjalan aku temui lapak tambal ban yang berpunghuni, rasanya tak tega membangunkan tukang tambal ban yang sedang tertidur pulas. Dia menikmati nyenyak diatas selokan, yaa dia tidur diatas kursi bekas yang telah dibuang pemiliknya, dan diletakkannya kursi itu diatas selokan. Mungkin itulah satu-satunya tempat tidur paling mewah yang ia miliki. Ku bangunkkan pelan-pelan agar dia tidak mengalami kondisi ekstrem karena kaget. Dia terbangun dan bersedia melakukan pekerjaan yang sudah menjadi rutinitasnya itu. Dia masih berada dalam kondisi antara tidur dan terjaga. Kasihan sebenarnya harus membangunkan tukang tambal ban itu. “maaf mas mengganggu tidurnya”, ucapku sambil sedikit berharap. “ooh ndak apa-apa mas, udah biasa”. Dia ternyata sudah cukup biasa dengan fenomena yang terjadi. Kuamati saja lingkungan sekitarnya, sangat terharu melihat apa yang terjadi. Setiap harinya dia harus tertidur beralaskan kursi diatas selokan dan hanya ber-atap langit. Dia tertidur, beraktifitas, hanya ditemani oleh kompresor dan perkakas tambal bannya yang bisa dikatakan sangat sederhana, dia harus rela menjadi sahabat dekat sang nyamuk, tidak ada kawan curhat kecuali pohon kecil yang berdiri disamping lapak usahanya. Jika dia menggantungkan hidupnya, mencari nafkah untuk sesuap nasi dilingkungan tersebut, maka dia harus merelakan darahnya menjadi energi segar bagi sang nyamuk. Aaaah rasanya tak kuasa aku menuliskan semua aktifitas yang aku lihat malam itu, yang jelas mereka memiliki prinsip yang sederhana.
”Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya”, yaa mungkin seperti itulah prinsipnya (seperti ungkapan Bpk Dahalan Iskkan), meski tidak dikatakan secara jelas, tapi keadaan cukup memberikan informasi yang nyata. Kehidupan yang mereka alami adalah sebuah fenomena ditengah megahnya kehidupan kota Surabaya. Mereka ingin meluapkan beban dan merasakan kehidupan yang layak seperti para penghuni metropolitan, Tapi lingkungan yang melupakan dan mencampakkan kehadiran mereka. Tapi mereka cukup ikhlas menjalani apa yang sudah semestinya mereka jalani. Bagi mereka, mengeluh terhadap keadaan tidak akan merubah rasa lapar yang ia alami tiap harinya, satu-satunya solusi mengusir rasa lapar itu adalah, bekerja sebisa mungkin tanpa harus meratapi derita, tanpa harus membiarkan luka.
Renunganku malam itu adalah, sering kita mengeluh terhadap masalah, putus asa terhadap kesulitan, marah pada derita. Padahal, jika disandingkan dengan orang-orang yang aku temui malam itu, sungguh beban yang kita tanggung tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Yaaa, bolehlah sesekali mengeluh tapi bukan untuk terus diratapi, bolehlah kita lelah menghadapi masalah, tapi jangan larut terhadapnya. Sesulit apapun masalah yang kita hadapi, kita masih bisa canda tawa, sesederhana apapun tempat tinggal dan kos-kosan yang kita tempati, masih lebih nyaman daripada yang mereka rasakan. Bagi mereka, tak ada beda antara tempat tidur dan tempat bekerja, saat matahari siang menerkam, becak menjadi lahan mencari nafkah, saat malam datang menyapa, seketika itu becak menjadi tempat peristirahatan yang mewah. Aku juga menemui satu bangunan yang mulai reyot dibelakang tempat pembuangan sampah, bahkan tak terlihat layaknya rumah, tempat keluarga bersanding mesra. Tempat berkumpul berbagi cerita, menyelesaikan masalah dan menemukan solusinya bersama-sama. Sedangkan tempat yang aku lihat itu, Bukan, bukan layaknya disebut rumah, mungkin penampungan lebih tepatnya. Hanya berjarak 1-2 meter dari tempat penampungan sampah, tak ada penerangan, senyap dan gelap.
Aku hanya bisa tertegun melihat apa yang ada, lebih dari 50 pemandangan sama yang aku saksikan. Sungguh aku belum memiliki kekuatan untuk membantu mengurangi beban mereka satu persatu atau setidak-tidaknya aku ajak “duduk ngobrol” bersama-sama, sungguh aku belum mampu. Entah menjadi salah siapa jika masih ada orang-orang yang terjajah seperti mereka. Mungkin saja ketidakberdayaanku ikut menjadi andil atas beban dan terjajahnya mereka. Aku bisa belajar banyak dari mereka. Belajar tentang sebuah kesederhanaan, belajar ketabahan, yang terpenting aku bisa belajar menghadapi hidup dan menatap tegak tembok kokoh kehidupan yang aku hadapi. Mereka tidak mau menyalah-nyalahkan orang. Meskipun secara tidak langsung kita juga ikut salah. Aku belajar banyak. Bagi mereka, kebahagiaan adalah mensyukuri sekecil apapun yang mereka dapat dan mengikhlaskan sesuatu yang belum di takdirkan untuk ia dapat. Mereka jalani proses tanpa banyak memprotes kehidupan.
Tak terasa hampir dua jam aku berada dijalanan. Sungguh aku tak memiliki kekuatan mental dan ketangguhan fisik seperti mereka. Fisik ku tak kuat menahan dinginnya malam, mentalku tak kuasa melihat keruwetan jalanan. Sejenak aku menghela nafas, berfikir, berimajinasi, dan pertanyaanku mengambang tanpa batas. Haruskah aku merasa diriku yang paling susah? masihkah aku menganggap bahwa tanggungan hidupku adalah yang paling berat? Pantaskah aku mengeluh dengan apa yang aku hadapi??? Aaaah semoga saja tidak!!!
Fajar mulai membangunkan malam, memberontak kegelapan, menghadirkan secercah kedamaian. Ku tembus angin yang menerjangku, ku tarik panjang Oksigen disekitarku, Sambil kupacu motorku kembali pulang, aku hanya mampu berdoa, “ Sesusah apapun kondisi yang anda jalani, sesulit apapun problem yang anda temui, seberat apapun beban yang harus anda pikuli, semoga anda semua tetap diberi kekuatan. Meskipun kebahagiaan dan hasilnya belum bisa anda rasakan saat ini, tapi yakinlah, Tuhan akan membalasnya dengan memberikan kebahagiaan, keberkahan dan hasil tersebut pada anak-anak cucumu. Semoga kelak, darah daging yang mengalir pada anak cucumu, mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakberdayaan penghuni pinggiran jalan, sehingga kemerdekaan yang hakiki benar-benar bisa terwujud adanya. Kemerdekaan dan kesejahteraan bagi semua rakyat ini tanpa terkecuali”.
------Semoga Bermanfaat------
Hamzah Guna Wijaya, Surabaya, Oktober 2012
Gambar : http://kfk.kompas.com/image/preview/QmFydV9CaXNhX0lzdGlyYWhhdC5qcGc%3D.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar