Minggu, 01 Juli 2012

“SUJUD” JALANAN DI PENGHUJUNG BULAN (tukang becak, pemulung dan tambal ban)




Malam ini, 00.30 WIB, malam penghubung antar bulan (Juni-Juli), batas akhir bulan juni dan penanda awal juli, aku melakukan perjalanan. Perjalanan yang memang aku sengaja adanya. Dinginnya malam kota surabaya mulai menerobos masuk kedalam tulang sum-sum, melewati batas tebal jaket yang aku kenakan. Ku pacu saja Jupiter Z melawan udara malam. Aku sudah ada niatan melakukan apa, tapi belum ada niatan mau kemana. Tetap saja ku pacu motorku menyusuri tepian surabaya. Ada dua pemandangan yang terlihat sangat bertolak belakang, disaat aku melewati tengah kota, satu kutub menampilkan “kebahagian semu”, para muda-mudi yang menikmati malam, sekumpulan group motor yang berjajar memamerkan keindahan motornya, club malam yang berpacu dengan lentikan suara karaoke, mereka menghabiskan malam, meluapkan kejenuhan dengan mencari kebahagiaannya masing-masing. Satu kutub yang lain menampilkan magnet yang berbeda, mereka yang berada dipinggiran jalan bergerombol dan hanya mampu memamerkan keindahan becak dan gerobaknya, seorang wanita paruh baya tetap setia terjaga didalam lapak dagangannya. Apa mungkin setiap hari mereka menghabiskan malam diatas becaknya, mereka tertidur dengan nyenyak dengan “ac” alami yang mereka andalkan. Ku susuri juga beberapa tempat pembuangan sampah, tengah malam pun ada saja yang masih beraktifitas memilah-milah sampah. Aku berjalan dengan membawa “bekal” yang sengaja aku sediakan buat sebagian dari mereka, cuma beberapa orang dari sekian banyak orang yang aku temui. Yaa sebagian saja, maaf memang aku belum mampu membagikan “bekal” buat semua yang aku temui, karena tak bakal cukup bekal itu.

Seorang pria yang sudah pantas menyandang gelar “kakek”, memunguti sampah kertas dipinggir jalan, dia mengumpulkan “Rezeki” di sepanjang jalan yang dilalui. Kertas yang sudah dikumpulkan, diikat dan diletakkan diatas becaknya yang sederhana, aku hanya bisa membatin, sudah tidak seharusnya seorang kakek yang cukup tua bekerja seperti itu, tapi bagaimana lagi jika keadaan yang memaksa seperti itu. Kuhampiri saja lelaki tua itu, Kuberikan saja “sedikit bekal” yang aku bawa, berharap bisa mengurangi beban hari itu. Minimal bisa untuk tambahan beli minum atau jajanan ringan. Sang kakek terlihat begitu semangat bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilakoninya, tak ada sedikitpun ekspresi yang menginformasikan jika dia mengeluh, hanya ekspresi letih yang sesekali tercurah dari wajah beliau yang terlihat hampir keriput. Rambutnya yang putih, punggungnya yang mulai ringkih, telah mengajarkan arti penting kehidupan (syukur dan ikhlas). Sambil berpamitan, aku tinggalkan kakek itu, berharap kepergianku tidak lagi mengganggu aktifitasnya. Terlihat begitu jelas dari kejauhan, jika sang kakek terus berpacu dengan becak memanfaatkan segenap tenaganya yang masih tersisa. Motor berhenti disuatu tempat diantara sungai dan taman, seorang pria yang tidak begitu tua juga tidak begitu muda sedang memulung barang apa saja yang bisa ditukar dengan uang. Kuhentikan motor dan kembali aku berikan sedikit bekal yang aku bawa. Beda dengan sang kakek yang aku temui pertama, sang lelaki ini sudah tampak kelelahan, sudah terlihat capek, sehingga agak kehabisan tenaga saat memunguti barang-barang yang tersisa dipinggir jalan. Setelah “bekal” aku berikan, kutinggalkan kembali lelaki itu, dengan harapan yang sama, semoga bisa mengurangi beban untuk hari itu.

Saat motor berjalan berjarak sekitar 300 meter dari tempat lelaki itu, aku harus menuntun motorku, ban bocor ditengah dinginnya malam. Cukup jauh untuk menemukan tukang tambal ban, mungkin karena tengah malam dan gelap sepi, tukang tambal ban pun ingin beristirahat. Kutemukan 3 tambal ban tetapi tidak berpenghuni. Terus saja kujalankan motorku, menyusuri jalanan yang sunyi. Sekitar 1,5 Km motor berjalan aku temui lapak tambal ban yang berpunghuni, rasanya tak tega membangunkan tukang tambal ban yang sedang tertidur pulas. Dia menikmati nyenyak diatas selokan, yaa dia tidur diatas kursi bekas yang telah dibuang pemiliknya, dan diletakkannya kursi itu diatas selokan. Mungkin itulah satu-satunya tempat tidur paling mewah yang ia miliki. Ku bangunkkan pelan-pelan agar dia tidak mengalami kondisi ekstrem karena kaget. Dia terbangun dan bersedia melakukan pekerjaan yang sudah menjadi rutinitasnya itu. Dia masih berada dalam kondisi antara tidur dan terjaga. Kasihan sebenarnya harus membangunkan tukang tambal ban itu. “maaf mas mengganggu tidurnya”, ucapku sambil sedikit berharap. “ooh ndak apa-apa mas, udah biasa”. Dia ternyata sudah cukup biasa dengan fenomena yang terjadi. Kuamati saja lingkungan sekitarnya, sangat terharu melihat apa yang terjadi. Setiap harinya dia harus tertidur beralaskan kursi diatas selokan dan hanya ber-atap langit. Dia tertidur, beraktifitas, hanya ditemani oleh kompresor dan perkakas tambal bannya yang bisa dikatakan sangat sederhana, dia harus rela menjadi sahabat dekat sang nyamuk, tidak ada kawan curhat kecuali pohon kecil yang berdiri disamping lapak usahanya. Jika dia menggantungkan hidupnya, mencari nafkah untuk sesuap nasi dilingkungan tersebut, maka dia harus merelakan darahnya menjadi energi segar bagi sang nyamuk. aaaah rasanya tak kuasa aku menuliskan semua aktifitas yang aku lihat alam itu, yang jelas mereka meiliki prinsip yang sama dengan masa kecil Bapak Dahlan Iskan.

”Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya”, yaa mungkin seperti itulah prinsipnya, meski tidak dikatakan secara jelas, tapi keadaan cukup memberikan informasi yang nyata. Yang mereka alami adalah sebuah fenomena ditengah megahnya kehidupan kota surabaya. Mereka ingin meluapkan beban dan merasakan kehidupan yang layak seperti para penghuni metropolitan, tapi lingkungan yang melupakan kehadiran mereka. Tapi mereka cukup ikhlas menjalani apa yang sudah semestinya mereka jalani. Bagi mereka, mengeluh terhadap keadaan tidak akan merubah rasa lapar yang ia alami tiap harinya, satu-satunya solusi mengusir rasa lapar itu adalah, bekerja sebisa mungkin tanpa harus meratapi derita.

Judul tulisan ini adalah “SUJUD” JALANAN DI PENGHUJUNG BULAN. Sujud disini bukan aktifitas saat solat, tetapi lebih pada interpretasi maksudnya, “membungkuk dengan khidmat”, saat seseorang sujud, dia berada pada posisi terendahnya, tak ada yang patut disombongkan, tak ada yang layak ditinggi-tinggikan, kecuali Sang Pencipta. Pada dasarnya kita semua adalah rendah. Tukang becak, tukang tambal ban memiliki posisi yang sama dengan kita dihadapan Tuhan. Justru mereka lah yang mengajarkan kepada kita tentang arti syukur. Sering kita mengeluh terhadap masalah, putus asa terhadap kesulitan, padahal jika disandingkan dengan orang-orang yang aku temui tadi malam, sungguh beban yang kita tanggung tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Sesulit apapun masalah yang kita hadapi kita masih bisa canda tawa, sesederhana apapun tempat tinggal dan kos-kosan yang kita tempati, masih lebih nyaman daripada yang mereka rasakan. Tak ada beda antara tempat tidur dan tempat bekerja, saat siang menjelang becak menjadi lahan mencari nafkah, saat malam datang menyapa, seketika itu becak menjadi tempat peristirahatan yang mewah. Aku juga menemui satu bangunan yang mulai reyot dibelakang tempat pembuangan sampah, bahkan tak terlihat layaknya rumah, tempat keluarga bersanding mesra.

Aku hanya bisa tertegun melihat apa yang ada, lebih dari 50 pemandangan sama yang aku saksikan. sungguh aku belum memiliki kekuatan untuk membantu mengurangi beban mereka satu persatu. Entah menjadi salah siapa jika masih ada orang-orang yang terjajah seperti mereka. Mungkin saja ketidakberdayaanku ikut menjadi andil atas beban dan terjajahnya mereka. Aku bisa belajar banyak dari mereka, mereka tidak mau menyalah-nyalahkan orang. Meskipun secara tidak langsung kita juga ikut salah.

Tak terasa hampir dua jam aku berada dijalanan. Sungguh aku tak memiliki kekuatan mental dan ketangguhan fisik seperti mereka. Fisik ku tak kuat menahan dinginnya malam, mentalku tak kuasa melihat keruwetan jalanan. Sambil kupacu motorku untuk kembali pulang, aku hanya mampu berdoa, “ sesusah apapun kondisi yang kalian jalani, seberat apapun beban yang harus kalian tanggung, semoga kalian tetap diberi kekuatan. Meskipun kebahagiaan dan hasilnya belum bisa kalian rasakan saat ini, tapi yakinlah, Tuhan akan membalasnya dengan memberikan kebahagiaan, keberkahan dan hasil tersebut pada anak-anak cucumu. Semoga kelak, darah daging yang mengalir pada anak cucumu, mempu mengatasi kemiskinan dan ketidakberdayaan penghuni pinggiran jalan, sehingga kemerdekaan yang hakiki benar-benar bisa terwujud adanya. Kemerdekaan dan kesejahteraan bagi semua rakyat tanpa terkecuali” semoga.

Masihkah kita merasa diri kita paling susah, masihkah kita menganggap bahwa kita menanggung beban paling berat, masihkah kita mengeluh dengan apa yang kita temui??? Semoga kita dijadikan makhluk Tuhan yang selalu menhadirkan rasa syukur di setiap aktifitas kehidupan kita.



..............Semoga Bermanfaat..............


Foto:http://kamipastipeduli.blogdetik.com/files/2009/07/img_8487.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks...