Selasa, 10 April 2012

“PELANGI DITENGAH NEGERI KEPANASAN DAN KEHUJANAN”



Untuk Kesetiaannya Emha ‘Ainun Nadjib (Cak Nun)

Ditengah hiruk pikuknya bangsa Indonesia mengembalikan jati dirinya yang semakin hari semakin melemah, semakin berganti zaman semakin menghilang, tetap saja beliau (Cak Nun) dengan kesederhanaannya dan kesabarannya masih mau duduk-duduk nyangkruk, jagongan hingga tengah-tengah malam hanya untuk membagi-bagikan pengalaman dan pengetahuannya kepada masyarakat yang mulai kehilangan kepercayaan diri. Cak Nun masih saja setia mendengarkan curhatan-curhatan manusia yang hadir diforumnya, tak peduli mulai dari curhatan malaikat ataupun Iblis sekalipun. Memang sangat lancang ketika saya harus menulis-nuliskan sosok budayawan asal jombang ini. Budayawan yang selalu membangkitkan kecintaan masyarakat pada budaya bangsa, seniman yang tulisannya mampu membuat jiwa ini mengalir menghargai potensi diri Negeri Garuda. Tapi yang aku ungkapan ini adalah bentuk kekaguman ku pada pemikiran-pemikiran beliau, pada perenungan-perenungan hidup yang ia bagikan, pada nasihat-nasihat yang telah ia tularkan. Setiap kali jagongan di bangbangwetan beliau Cuma mengajarkan tentang kemanfaatan hidup. Kurang lebih beginilah yang dia utarakan, “Kalau kalian Ingin melayani Allah maka layani lah orang lain yang ada disekitarmu”. Melayani memiliki interpretasi makna yang cukup luas, tapi pada intinya bagaimana kita bisa menolong, membantu, kerjasama dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Selain itu, yang sering beliau ungkapkan adalah “sesulit apapun hidupmu didunia, bagaimanapun nasibmu saat ini, trimoen (terimalah), ikhlaso (ikhlaslah), asal Allah tidak marah kepadamu dan kamu tetap dicintai Rasulullah, sudah cukup kamu hidup didunia ini”.



“Pelangi di tengah negeri kepanasan dan kehujanan”, judul ini juga terinspirasi dari sebuah tulisan cak nun yang mengomentari pemberian gelar Dr.HC kepada gus mus alias KH. Mustafa Bisri, judul tulisan beliau adalah “Air zam-zam di Negeri Comberan”. Jelas tulisan ini tidak memiliki arti apa-apa baginya, bahkan cak nun akan marah jika ada satu orang saja yang berkata kagum, hormat atau apa sajalah yang berpotensi meninggi-ninggikan dirinya. Suatu pertemuan cak nun pernah berpesan kepada jamaah maiyah, jangan sekali-kali kau meninggi-ninggikan orang lain, karena “tinggi” itu hanya milik Tuhan, manusia tidak berhak menempati maqom yang seharusnya milik Tuhan.


Tapi yang jelas disini aku bukan meninggi-ninggikan cak nun, aku menulis karena aku suka. Dengan rasa suka ku pada pemikiran beliau, aku memiliki keinginan suatu saat aku bisa memaknai pemikiran beliau. Yang perlu digaris bawahi adalah, 100 persen pemikiran yang beliau utarakan bukan tidak berdasar, justru menurutku sangat didasari pada tuntunan Tuhan dan Nabi utusannya. Gaya penyampaian, ijtihad pemikirannya, konsep hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, sangat cocok dan mudah terserap oleh bodohnya otak ku dalam menerapkan prinsip keagamaan.



Agama tidak hanya soal ibadah vertikal saja. Disana juga ada kesopanan antar manusia dan alam, perdagangan, politik, hukum kenegaraan, politik, sampai pada kemesraan manusia dengan iblis. Tentu tulisan ini jangan hanya dimaknai secara pemahaman yang telanjang. Semua harus dipadukan dalam satu-kesatuan bingkai aturan agama.


Cak nun sering berpesan bahwa manusia saat ini lebih sering mementingkan formalisasi-formalisasi nilai belaka tanpa memikirkan substansinya. Inilah yang menyebabkan manusia terjebak pada kurungan egoisme diri. Tanpa ada kemanfaatan yang dicapai.


Kondisi sosial politik masyarakat Indonesia saat ini sudah sedemikian parahnya. Bangsa yang mayoritas beragama islam justru malah tidak islami. Sangat membingungkan. Dari sinilah Cak Nun berpesan, kurang lebih seperti ini, “kita tidak bisa merubah kondisi Bangsa Indonesia saat ini, tapi yang bisa kita ambil dari forum ini adalah, sebisa mungkin kita tidak ikut campur dan menjadi pengacau, kita rubahlah diri kita untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya manusia. Orang itu benar-benar dikatakan islam jika orang-orang yang ada disekitarnya merasa selamat, kita baru dikatakan mukmin jika orang-orang sekitar kita merasa aman dengan keberadaan kita.


Sangat sering aku membaca dan mendengar ungkapan seperti ini “jika matahari adalah kebahagiaan dan hujan adalah kesedihan, maka kita membutuhkan keduanya untuk dapat melihat indahnya pelangi”. Bagiku Cak Nun ibarat pelangi, dia kumpulan dari berbagai panjang gelombang yang berbeda, ada yang panjang gelombang terendah sampai pada panjang gelombang tertinggi. Dia mampu menampung segala aspek pemikiran masyarakat luas, dari yang radikal sampai yang lembut, dari preman sampai petinggi pemerintahan, dari pedagang kaki lima sampai para pengusaha dlsb, semua ditampung jadi satu dalam sebuah forum yang dibinanya, dengan satu tujuan menguatkan cinta antar sesama. Dia mau mengakomodasi matahari/kebahagiaan orang lain, meskipun kebahagiaan itu ditengah situasi sosial politik yang cukup memanas. Cak Nun juga tak sedikitpun risih dengan kesedihan/hujan yang dialami masyarakat. Dia memiliki kemampuan menyandingkan butiran air hujan sebagai kristal pembias cahaya matahari untuk menampilkan lengkungan pelangi cinta dan kebersamaan yang menakjubkan.



….. Semoga Ada Manfaat yang bisa diambil…..


Gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1a8DMLM-4TdctgYCSyTmB_Rn7Mot5lqOi-swqd27t1eNAdjgNvZ3ec_gfWqBviEzqDBrXX61MQmjdd-0ERmGKS-BOk2nxYP2RG5s5FjV0Xf7C6yu9murkX_isHqIkeY8tQvAJ2Ah_T4Bl/s640/Spiritual+Journey,+Pemikiran+dan+Permenungan+Emha+Ainun+Nadjib+-+Copy.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks...