Rabu, 22 Februari 2012

“Kemampuan” itu sebenarnya “kemauan”


Untuk menjadikan kita “mampu” melakukan sesuatu, tidak cukup hanya dengan kata “tahu” tapi harus “mau” untuk melakukan sesuatu itu.
(Makna Melakukan sesuatu pada kalimat diatas sangat luas, setiap orang memiliki definisi yang berbeda-beda).

Bapak Soehar Djupri seorang Dosen Matematika dari kampus perjuangan ITS yang juga seorang entrepreneur pernah suatu hari menjadi pembicaara disebuah seminar pelatihan manajemen diri. Kebetulan waktu itu aku diberi kesempatan untuk hadir dalam acara yang luar biasa itu. Beliau diberi amanah untuk mengisi materi motivasi. Satu kata beliau yang aku ingat sampai sekarang adalah kurang lebih seperti ini “Lek kowe wedi, sek iso tak terno, tapi lek kowe gak gelem yowes gak iso opo-opo”, jika diartikan dalam bahasa Indonesia maknanya adalah “Kalau kalian takut, aku masih bisa mengantarkan, tapi kalau kalian tidak mau, ya sudah gak bisa apa-apa”. Mungkin anda sudah faham maksud dari kalimat beliau, tapi gak ada salahnya aku sedikit memberikan penjelasan agar tidak ada yang bias penafsiran. Maksud dari kata “kalau kalian takut” adalah kita sebenarnya memiliki kemauan untuk melakukan sesuatu yang ingin kita capai, akan tetapi kita belum memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu itu, lha kalau belum berani masih bisa “diantarkan” atau dibimbing, tetapi kalau kita sudah “tidak mau” jangankan dibimbing, di kasih tahu aja kita sudah ogah mendengarkan.

Bagaimana kita bisa mengerjakan sesuatu secara maksimal dan optimal, kalau kita tidak memiliki motivasi untuk mau mengerjakan nya. Kita tidak akan tahu sulit atau mudah, bisa atau tidaknya menyelesaikan sesuatu sebelum kita mau mencoba untuk mengerjakannya.

Ada sebuah cerita yang pernah aku alami, cerita menyedihkan yang berbuah menyenangkan. Saat SMP (kebetulan aku tinggal dilingkungan Pondok Pesantren), waktu itu aku termasuk orang yang pemalu, penakut, minder, gak berani ngomong, gak berani berargumentasi, dan terkesan orang yang tertutup. Sehingga teman-teman satu angkatan dan satu kelas sering sekali menggoda. Tak jarang pula aku menjadi bahan gojlok-gojoklan (olok-olokan dalam bahasa indonesianya) temen-temen satu angkatan.

Saat proses belajar mengajar dikelas dimulai dan sang ustadz menginginkan ada santri yang maju mengerjakan soal, satu kelas kompak bin serempak menunjuk dan mengajukan nama ku. Tak ayal saat maju didepan papan tulis, mukaku merah karena malu, keringat bercucuran karena grogi bercampur takut, tak tahu kenapa aku merasa seperti itu. Yang jelas waktu itu aku merasa tersiksa dan tertekan. Kejadian seperti itu berlangsung cukup lama kurang lebih sekitar 3 tahunan (bayangkan saja,,, hufth). Tapi untungnya aku diberi kekuatan untuk bisa bertahan di Pon. Pes tercinta itu.

Saat menginjak Madrasah Aliyah (setingkat SMA), pengalaman menyebalkan itu aku jadikan pelajaran, dan yang terpenting aku memiliki “kemauan” yang kuat untuk terus belajar berkomunikasi sebaik mungkin. Aku mulai belajar ngomong dan berargumentasi (ngomong tidak sembarang ngomong, tapi ngomong yang lebih berbobot dan berlatih ngomong didepan forum), lebih banyak diskusi dengan ustadz, kebetulan ustadz yang aku ajak diskusi background pendidikannya dari hukum, sehingga banyak kosakata-kosakata universal nan baru yang aku dapatkan. aku mulai belajar ngomong sendiri, baik saat dikamar asrama, kamar mandi sambil menunggu antri, saat mengantri makan dan waktu senggang lainya selalu aku gunakan untuk meningkatkan kualitas komunikasiku.

Waktu itu aku merasa tak ubahnya seperti orang gila yang ngomong sendiri. Tapi biarlah, ini semua demi kebaikan ku juga, pikir ku saat itu. Setiap kali ada forum diskusi selalu saja aku ikuti, minimal belajar memperhatikan teman-teman yang udah berani tampil didepan forum. Singkat kata, saat aku sudah lulus dari pesantren setiap kali pesantren mengadakan acara baik out door maupun indoor untuk siswa-siswinya, untuk santriwan dan santriwatinya aku sering dilibatkn, dan syukur Alhamdulillah tak jarang aku diberi amanah untuk jadi pembicara pada acara tersebut.
Cerita berlanjut saat aku masuk kuliah. Pada tahun kedua masa perkuliahan aku bergabung dengan organisasi kebanggan anak Kimia (HIMKA) sebagai Staff Humas Eksternal, ditahun berikutnya dan ditahun berikutnya aku diberi amanah menjadi Kepala Departemen Humas, dan kesempatan sebagai pembicara dievent luar kampus tak jarang mampir kepada ku. Belum puas sampai situ, aku mencoba kesempatan didunia tulis menulis. Alhasil, di akhir masa kuliah, aku beserta 2 orang seniorku, mampu menciptakan karya yang belum ada sebelumnya. “Chemis-Three” itulah judul buku karya kami bertiga, yang berisi tentang filosofi kehidupan, sosial, cinta ditinjau dari segi ilmu kimia. Semua pengalaman itu yang kukenal dengan sebutan “hal menyebalkan yang membuahkan kesenangan”.

Point terpenting disini bukan aku curhat kesana-kemari tentang diriku, tapi aku mencoba menghayati kebenaran kalimat bapak Soehar Djupri yang aku tuangkan lewat uraian tulisan. Dan setelah aku bernostalgia pada masa laluku, aku mendapatkan suatu pernyataan yang memang benar adanya, bahwa kemauan yang kuat dapat mengantarkan kita pada kemampuan untuk melakukan sesuatu yang ingin kita capai. Bahkan sehebat apapun “bakat” yang kita miliki, tidak ada gunanya kalau kita tidak memiliki “kemauan” yang besar untuk mengasahnya. Terima kasih Bapak Soehar Djupri atas ilmu yang telah anda berikan kepada kami.

Pada dasarnya, sekecil apapun keinginan kita terhadap sesuatu, tidak akan pernah kita dapatkan kalau kita mengabaikan unsur “kemauan”, sebaliknya sebesar apapun sesuatu yang kita inginkan, akan lebih mudah kita dapatkan jika kita memiliki “kemauan” yang kuat untuk mendapatkannya.

Dan kesimpulannya adalah “kemauan” berada pada tingkatan paling tinggi dalam proses menuju pencapaian. Kita akan mampu kalau kita mau, dan Kita tidak mampu kalau kita tidak mau

…..Semoga bermanfaat…..

Nb: Gambar diambil dari
http://android78.files.wordpress.com/2008/11/app_themes_lsctheme_images_motivation.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks...