
Aaahhh, rasanya sumpek tiap hari harus mendengarkan dan melihat tontonan tanpa sutradara, parody tanpa ujung cerita. Televisi pun memberi pertunjukan untuk kabar yang itu-itu saja, tetap sama, tanpa ada variasi berita. Korupsi, kolusi selalu menempati halaman paling depan pada tataran surat kabar. Wisma Atlet, Proyek Hambalang, Tertangkapnya proses penyuapan Kepala Kantor Pajak Bogor, sampai yang paling ramai dibicarakan adalah kasus dugaan penyelewengan dana pengadaan Al-qur’an. Meskipun kasus ini masih dibutuhkan penyelidikan yang cukup mendalam dan proporsional, serta kajian-kajian yang cukup serius untuk mengungkap kenyataan yang terdeteksi, akan tetapi mindset kita sudah hampir digiring pada kondisi sosial politik Negara yang bisa dibilang cukup mengenaskan. Belum lagi para pelaku yang terungkap adalah anak-anak ibu pertiwi yang masih muda dan baru saja dilahirkan di dunia. Aku cukup bergumam (sungguh “Hebat” ibu pertiwi ini).
Ada sebuah guyonan dalam salah satu forum diskusi religi dan sosial. “Setan saja sudah putus asa menggoda Bangsa Indonesia”, lha kok bisa? Ya, setan sudah tidak lagi mampu menggoda Bangsa Indonesia. Instruksi yang diberikan setan sudah tidak lagi didengar oleh Masyarakat Indonesia. Setan pun berjalan terlampau lunglai, dia tidak ingin lagi bertahta di Negeri Pertiwi. Karena kerajaan setan dan petinggi-petingginya, sudah tergusur oleh cerdasnya dan tingginya tingkat keilmuan para pemimpin Indonesia. Ketika setan menyeru supaya mencuri uang 200.000 ternyata yang sudah dicuri 2.000.000, tatkala setan menyuruh pemimpin Indonesia korupsi 3 Milliar, ternyata orang yang diperintahkan sudah terlebih dahulu korupsi 3 Trilliun. “capeeeek deeech”, urai si pemimpin Setan. Bukan, bukan sok bersih aku menulis ini, tapi lebih dari itu, mari kita mentadabburi, mempelajari, dan memahami kondisi yang ada sebagai salah satu bentuk instropeksi menuju jalan yang Hakiki. Semoga!!!
Aku bukan orang yang memiliki pijakan keilmuan tentang dunia politik dan ranah perhukuman, aku juga bukan anak muda yang memiliki landasan berfikir tentang tata kelola pidana. Aku tak punya argumentasi logis tentang siapa yang benar dan siap pula yang patut dipersalahkan. Tak mampu mulut ini berujar, mengkritisi sana dan sini layaknya para pengamat politik dan para politisi. Aku sebatas faham, kehidupan berjalan berdasarkan siklus timbal-balik.