
Untuk Kesetiaannya Emha ‘Ainun Nadjib (Cak Nun)
Ditengah hiruk pikuknya bangsa Indonesia mengembalikan jati dirinya yang semakin hari semakin melemah, semakin berganti zaman semakin menghilang, tetap saja beliau (Cak Nun) dengan kesederhanaannya dan kesabarannya masih mau duduk-duduk nyangkruk, jagongan hingga tengah-tengah malam hanya untuk membagi-bagikan pengalaman dan pengetahuannya kepada masyarakat yang mulai kehilangan kepercayaan diri. Cak Nun masih saja setia mendengarkan curhatan-curhatan manusia yang hadir diforumnya, tak peduli mulai dari curhatan malaikat ataupun Iblis sekalipun. Memang sangat lancang ketika saya harus menulis-nuliskan sosok budayawan asal jombang ini. Budayawan yang selalu membangkitkan kecintaan masyarakat pada budaya bangsa, seniman yang tulisannya mampu membuat jiwa ini mengalir menghargai potensi diri Negeri Garuda. Tapi yang aku ungkapan ini adalah bentuk kekaguman ku pada pemikiran-pemikiran beliau, pada perenungan-perenungan hidup yang ia bagikan, pada nasihat-nasihat yang telah ia tularkan. Setiap kali jagongan di bangbangwetan beliau Cuma mengajarkan tentang kemanfaatan hidup. Kurang lebih beginilah yang dia utarakan, “Kalau kalian Ingin melayani Allah maka layani lah orang lain yang ada disekitarmu”. Melayani memiliki interpretasi makna yang cukup luas, tapi pada intinya bagaimana kita bisa menolong, membantu, kerjasama dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Selain itu, yang sering beliau ungkapkan adalah “sesulit apapun hidupmu didunia, bagaimanapun nasibmu saat ini, trimoen (terimalah), ikhlaso (ikhlaslah), asal Allah tidak marah kepadamu dan kamu tetap dicintai Rasulullah, sudah cukup kamu hidup didunia ini”.
“Pelangi di tengah negeri kepanasan dan kehujanan”, judul ini juga terinspirasi dari sebuah tulisan cak nun yang mengomentari pemberian gelar Dr.HC kepada gus mus alias KH. Mustafa Bisri, judul tulisan beliau adalah “Air zam-zam di Negeri Comberan”. Jelas tulisan ini tidak memiliki arti apa-apa baginya, bahkan cak nun akan marah jika ada satu orang saja yang berkata kagum, hormat atau apa sajalah yang berpotensi meninggi-ninggikan dirinya. Suatu pertemuan cak nun pernah berpesan kepada jamaah maiyah, jangan sekali-kali kau meninggi-ninggikan orang lain, karena “tinggi” itu hanya milik Tuhan, manusia tidak berhak menempati maqom yang seharusnya milik Tuhan.