
Ku tinggalkan beberapa pekerjaan yang sedikit belum kelar aku kerjakan, meskipun jadwal pulang kantor sudah lewat beberapa jam. Sudahlah, ku coba menjaga metabolisme asupan tubuh biar berjalan lebih teratur. Ku coba keluar dari ruangan kantor menuju pinggir jalan raya, sembari berharap ada orang jualan yang lewat didepan kantor. Kali aja ada tukang nasi goreng yang berseliweran kayak disurabaya. Agak lama aku menunggu nampaknya belum ada perjodohan yang dipertemukan dengan perut yang semakin keroncongan ini. Saat masih asyik berdiri diatas alas ketidakpastian, seorang kawan berteriak dari belakang mengagetkan lamunan ku menunggu abang tukang nasi.
"Ngapain lu brey,?" Tanyanya,
"Cari makan jeh, perut laper nih", jawab ku sambil meringis,
"Yaelah, jangan ditunggu bro, gak bakal ada yang lewat, udah kita cari makan diluar aja", timpalnya.
"Bolehlah, kita cari makan diluar, mau cari apa?" Kejar ku,
"Dingin gini, makan nasi sup ceker pedes manteb nih bro,".
"Cocok bro, lanjuuut," jawab ku gak pakai lama.
Sekedar tau aja, kawanku ini kebetulan orang jawa tengah, yang punya selera makan yang sama, sama-sama kurang cocok dengan menu makanan kota ini, hhehe. Katanya sih, rumah makan yang akan kami kunjungi, punya menu sup ceker paling josh di kota ini, katanya!!! meski harganya juga lumayan jos mahalnya!!!. Okelah kita meluncur langsung karena memang perut kita sama-sama udah berontak. Sampai tempat, gak pakai lama, meski seabreg menu makanan yang disodorkan, tetap saja sup ceker pilihan utamanya. Meskipun kalau boleh jujur, saya lebih seneng memilih makanan di warteg, selain faktor harga, menu makanan yang dihadirkan beragam, tapi yang terpenting bersahabat dengan lidah khas jawa timuran. maaf maaf aja nih ye, makanan disini bagi lidahku, lidah jawa tulen, masakan disini rasanya hambar, kalau gak hambar, komposisi bumbunya juga terlalu manis, aaah sulitlah divisualisasi lewat tulisan. Pokoknya kurang bumbu ini atau itulah. Apalagi kalau dibandingkan dengan makanan warteg bertema semur, lalapan, sambal terasi, atau sayur asam pakai mujair, biuh nikmat sekali, sayangnya belum aku temukan disini. Yaa dari pada setress mikirin makan capcus aja dah.
Saat disajikan, kalau dihirup dari aroma cekernya, mantab nian sup ini. Gak pakai ba bi bu, ku campur saja nasi dengan kuahnya. Emang benar kata orang, pada saat berada pada puncak rasa lapar, apapun masakannya terasa nikmat melahapnya. Meski jujur aja sih, masih mending yang ada di warung kebon, warung favorit deket kampus, saat saya masih kuliah di ITS Surabaya. Yaa sudah gak baik makan sambil mikir, entar habis makanannya gak kerasa nikmatnya.
Aaah satu piring dengan 1 mangkok kuah sup ditambah 7 ceker ayam rasanya sudah cukup mengisi 1/3 ruang kosong di perut. Sejenak mengistirahatkan badan agar makanan dapat diolah dan dicerna dengan baik oleh tubuh. Sambil duduk santai, usil tanganku menggonta-ganti siaran televisi dirumah makan tersebut, yang kebetulan posisi tv ada didepan kami, tanpa sengaja akhirnya ku ketemu dengan On The Spot Trans 7, salah satu acara yang bisa tambah wawasan, menurutq!. Saat itu judul yang diangkat adalah 7 peristiwa perbudakan manusia di era modern. Dimana ada beberapa negara yang melakukan aktifitas yang tidak manusiawi ini. Dikatakan Perbudakan modern, karena di zaman semodern sekarang masih saja ada aktifitas pekerjaan yang melibatkan banyak orang tetapi, reward yang diberikan tidak sesuai dengan maksimal tenaga yang dikeluarkan. Ada lagi di salah satu negara, yang mempekerjakan orang-orang dengan keterbatasan mental, mereka disuruh bekerja dan tidak mendapatkan upah, hanya sekedar mendapat makan. Ada lagi yang bekerja 10 jam dengan waktu istirahat 1 jam, tanpa digaji, sehingga 40% pekerjanya meninggal karena kekurangan gizi. Salah satu negara timur tengah juga melakukan hal yang sama, bahkan anak-anak kecil dipekerjakan dengan upah sangat minim, belum lagi mereka ada yang disiksa karena kurang maksimalnya mereka dalam bekerja, reward tidak ada punishment merajalela. Sekali lagi, ini bukan data yang aku gali, ini adalah info dari acara tersebut, mungkin tidak bisa seluruhnya aku tuliskan disini, mungkin juga ada yang salah saat saya mengutip, tapi pointnya adalah, saat anda penasaran anda bisa googling, semoga mendapat gambaran yang lebih jelas. Banyak hal yang bisa dikisahkan disini, ketidakselarasan sosial dan ketidakadilan global, menyisahkan banyak kisah yang memekikkan keharuan hati dan mental, seraya ini menjadi gambaran semu dengan kisah pertemuanku dengan kawanan anak jalanan, kisahnya akan aku share dibawah ini.
Sudah cukup kami beristirahat, kami langsung meluncur balik. Sesuai dugaan, harganya juga lumayan cetar membahana, tapi, kata orang-orang tua zaman dahulu, kalau udah dimakan jangan disesali ntar gak jadi daging, gak bisa gemuk, hhehee. Kami lanjutkan pulang, tapi aku coba mampir ke kantor sebentar, karena charger BB ketinggalan.
Saat keluar ruangan, sekilas kulihat 2 orang bocah kecil melintas didepan pagar kantor sambil membawa gitar kecil "akulele", dari sinilah pelajaran itu ditunjukkan. Dari kejauhan, nampaknya langkah yang mereka ayunkan cukup menggambarkan keletihan bocah itu. Saat aku sampai gerbang, mereka sudah beberapa meter meninggalkan depan kantor. Kucoba merogoh saku celana mungkin ada beberapa uang yang bisa aku berikan, sambil perlahan kususul langkah mereka, ternyata uangku juga ludes, kubuka dombet hanya ada satu lembar puluhan ribu. Karena pernah belajar, juga pernah sharing tentang kebaikan berbagi, semoga bukan menjadi masalah, toh kalau gak ada masih bisa saya usahakan, tapi bagi mereka? Hanya lembar ketidakpastian yang mereka andalkan.
Ku coba panggil dengan irama keplokan, mereka yang berjarak sekitar 10 meter mendengar panggilan itu. Mereka berhenti dan ku ayunkan kaki ini lebih cepat lagi, kulambaikan tangan berharap mereka tidak berlalu mengabaikan panggilan saya. Ku tepuk pundak bocah paling besar, kalau dilihat dari postur, ku perkirakan dia sekitar kelas 5 SD tapi entahlah apakah dugaanku ini akurat, yang jelas dia masih kecil. Di depannya juga nampak bocah, yang posturnya lebih kecil, kalau boleh memperkirakan ia masih sekitar kelas 2 SD. Ku coba ajak ngobrol, mereka dipinggir jalan, mungkin itulah tempat refreshing paling menyenangkan bagi mereka.
"Dari manaa dek? Tanyaku ingin tahu",
"Biasa mas, dari ngamen" jawabnya polos, sambil menunjukkan gitar kecil, yang di gapit di tangan kirinya, sambil tangan kanannya memegang uang ribuan.
"Oohh, ini mau pulang atau masih lanjut?" Tanyaku lagi,
"Pulang mas udah capek," masih dengan wajah polosnya yang dibalut tetesan keringat dari dahinya.
"Rumahnya jauh dek? Pulangnya jalan?"
"Jauh mas, iya jalan kaki mas, rumahnya di penampungan sampah", jawabnya dengan suara sedikit bergetar.
Aku pun tak tahu, sejauh mana Rumahnya, dari jarak tempat kami ngobrol, yang lebih mengharukan, dia memberi informasi jika rumahnya satu kompleks dengan tempat penampungan sampah. Aaah Tuhan, berilah keberkahan atas rezeki yang mereka usahakan, gumamku dalam hati.
"Udah dari jam berapa ngamen dek? Dari pagi?" Tanyaku lagi.
"Iya mas, eh ndaak mas dari siang tadi, jawabnya agak gerogi.",
"Oalah, adek masih sekolah?" Tanyaku agak penasaran.
"Masih mas, pulang sekolah kami langsung ngamen", jawabnya agak pelan.
"Ini adeknya?, sambil tangan kiriku memegang pundak bocah disebelah kiriku",
"Iya mas," sahutnya
"Yaudah dek, ini mas ada sedikit uang, mungkin bisa buat tambahan jajan atau beli es", sambil ku serahkan uang tadi. "Makasih mas,"
"Iya dek, sama-sama, yaudah dek, cepet pulang, hati-hati dijalan", sambil kutepuk pundak bocah itu, berharap tepukan itu mampu memberi semangat selama perjalanan sampai kerumahnya.
Sebenarnya ingin aku ajak makan bersama, ku ajak ngobrol, ku gali informasi, ku pelajari apa yang bisa aku pelajari dari usaha yang terus ia lakoni, berharap bisa sedikit banyak membantu apa yang bisa aku bantu. Sayangnya keletihan dari raut muka bocah bersaudara itu, membuyarkan keinginanku. Sempat berfikir andai bisa ngajak ngobrol, kasih sedikit masukan atau motivasi, atau sekedar nasehat, tapi setelah dipikir, mau kasih nasihat apa, toh mereka jauh lebih hebat dari saya, mereka masih kecil, tapi sudah mampu berusaha sendiri, sedangkan aku, seumuran mereka dulu, aku masih bisa merasakan makan, bermain, jam segini juga dulu aku sudah berbaring, terlalu manja dengan menggantungkan diri kepada orang tua. Mau kasih semangat, kenyataannya mereka lebih dahsyat, mereka bukan bocah manja dan melankolis, mereka tetap berjuang penuh optimis meskipun kenyataannya, kehidupan sangat sinis.
Sambil menatap mereka pergi meninggalkan keberadaanku sendiri, Aku pun terdiam sambil berlalu, kucoba renungkan pelajaran dari pertemuan ini. Betapa keras dan kejamnya kehidupan ini bagi anak-anak seusia mereka. Hak mereka sebagai anak untuk fokus belajar, terpecah dengan keterpaksaan mencari nafkah. Kebebasan masa kanan-kanak yang manis dan legit tidak sempat mereka alami dengan baik, karena sudah terampas oleh kesulitan hidup yang mereka temui. Mereka tertindas oleh “Penikmat keserakahan”, mungkin saja mereka ditindas akalnya, dikebiri usaha intelektualnya, direduksi hak sosialnya, serta di habisi kesempatan masa kecilnya, entah siapa yang tega sekali melakukan kecurangan yang sedemikian parahnya, yang jelas mereka tak menggubris segala kedholiman yang ia terima. Mereka cukup bersahabat dengan kesusahan-kesusahan itu. Bagi mereka, kedholiman para “bulus” bukan menjadi penghalang untuk terus mewujudkan ketangguhan mentalnya dalam mencari nafkah.
Mungkin saja mereka belum terlalu mendalami arti kata "syukur", tetapi tanpa sadar penghayatan "syukur" itu telah mereka laksanakan dalam kehidupan sehari-harinya. Semakin lama semakin jauh mereka meninggalkan saya, semakin malu rasanya untuk mengeluh, meskipun sesekali waktu. Mungkin mereka faham cara mengeluh, tapi bagi mereka, mengeluh tidak akan menghasilkan apa-apa dan tidak akan membuat perut mereka menjadi kenyang. Terus ku pacu langkahku sampai depan gerbang kantor, aku tak sadar kalau satu pasang mata satpam penjaga kantor melihat gerak-gerikku, lantas ia tanya penuh penasaran, "kenapa pak?", tanyanya, "ooh kaget saya pak, tak kira siapa, ndak kok pak, cuma ngasih mereka buat beli es, yaudah pak saya balik dulu", aku menimpali. "Siap pak, silahkan, hati-hati dijalan pak", "baik pak, terimakasih", jawabku sambil berlalu.
Terus saja aku mencoba, menerka-nerka, mempelajari ilmu dari peristiwa yang dihadirkan, mereka cukup tabah menjalani hidupnya, dipacu semangat yang gigih melawan derasnya badai kemiskinan yang melanda. Kesamaan mereka (pengamen bersaudara) dengan pengkritik, sama-sama pintar, bocah pengamen pintar mempertahankan hidupnya dari ketidakberdayaan sosial, sedangkan pengkritik, pintar mengkritisi sesuatu yang tidak menguntukan bagi dirinya. Aaah entahlah, yang jelas mereka, bocah pengamen bersaudara, hari ini berhasil menjadi guru sosial ku dari kampus kehidupan fakultas moral.
Rasanya nasi sup yang aku makan, menjadi nasi yang tidak adil dalam perutku, ketika kenyataan ini lewat didepan mataku. Kawan, ingin rasanya aku ngajak kalian makan, tapi apa daya malam makin larut, kalian butuh istirahat, apalagi esok pagi kalian harus pergi belajar. Kawan, semoga cucuran keringatmu hari ini menjadi nilai berkah, untuk melangsungkan kerasnya kehidupan yang kau jalankan. Kawan, semoga puncak keletihan yang kau alami terbayarkan dengan istirahat malam ini. Yakinlah, apapun yang kau usahakan saat ini tak ada yang sia-sia. Tuhan pasti akan memberikan keberlimpahan rezekinya, toh rezeki tidak sama dengan uang, mungkin Tuhan akan memberikan jalan rezeki yang tidak kau sangka maupun yang kau duga. Semoga saja, saat badai ketidakberdayaan ini berlalu, kau segera temukan cahaya keadilan yang selama ini kau dambakan.
Satu lagi kawan, keteguhanmu mencari sesuap nasi, ketegaran hatimu mengusahakan rezeki, telah mengkerdilkan mentalku yang lemah ini. Masih saja, kadang setua ini masih protes dengan kondisi yang ada, padahal kalian saja tetap gigih dan tak mau berputus asa. Kadang sedewasa ini, saya masih mengeluh dengan apa yang aku rasa, padahal kalian, dengan umur yang belum seberapa dewasa, tidak sedikitpun menunjukkan raut muka keluh kesah. Kadang diusia yang makin berkurang, aku masih berani menghardik atas apa yang Tuhan anugerahkan, padahal kalian, untuk mengeluh saja sudah ketakutan, takut atas murka Tuhan.
Inilah jodoh dan pelajaran yang dihadirkan. Siapa yang mampu mengatur peristiwa sedemikian rupa, "Setelah makan, ada sebuah tayangan yang menggambarkan kenyataan tentang ketimpangan dan degradasi sosial, pulang makan ambil charger ketinggalan, keluar kantor ketemu bocah pengamen jalanan"??? Siapa? Siapa yang menskenario? Siapa lagi kalau bukan Tuhan yang Mengizinkan. Yaa salamm,,,
Yaaa, Terimakasih Tuhan kau telah hadirkan peristiwa yang memberi pelajaran. Terimakasih kawan kau telah izinkan aku menimba ilmu dari mu, Selamat istirahat kawan, selamat berjuang kawan, semoga Tuhan memberimu kemudahan, semoga usahamu semakin dimudahkan, kumpulkan semangatmu untuk menghadapi kerasnya kehidupan esok hari, esok siang saat matahari memberi cahaya terang.
Semoga Bermanfaat...
Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHTpPPQH17ofb3j0sxH_SeHFnlvPuxBYYUOj6sTAyxhpUUQ67APJ17-pNbGt7ESuebtGF4_Wym630nwvgt2at3flgcH-AHtbXAesQ8o62kRxKDR2xhXseBLb1ariADbZjBPfB0n8ROw7WQ/s1600/pengamen1.jpg
Kisah yg sama pernah kulihat di bis kota, di jalanan atau di jembatan ampera, tapi tak banyak hal yang q lakukan, hanya lembaran, senyuman dan setulus doa. Semoga diberi ketabahan.
BalasHapus#