Jumat, 06 Januari 2012

“Maaf, ini lah Ketidakmampuanku menjadi Guru”

u mulai dari sebuah percakapan kecil.
“lha lapo awakmu ngelamar kerjo nang kene? bukane awakmu wes ngajar yo? lak mendingan ngajar timbang kerjo nang industri ngene?, (lha kenapa kamu ngelamar kerja disini? Bukanya kamu udah ngajar y?, kan mendingan ngajar daripada kerja di industri?). Sekilas pertanyaan bernada guyon yang diutarakan oleh senior ku waktu kuliah dulu. Dia sudah lebih dulu bekerja di perusahaan yang akan aku lamar. Pertanyaan tersebut menggelitik pikiranku,”. Apalagi beberapa murid saat chat pasti menanyakan sesuatu yang hampir sama, “kenapa gak ngajar lagi?”. Pikiran ku saat itu benar-benar kosong saat muncul pertanyaan tersebut, kontak aja aku gak bisa njawab pertanyaan itu. Yaa, akhirnya aku jawab sebisa mulutku berucap, “ ya sementara mas, pingin tau lingkungan industri, maklum fresh graduate”. Setelah kejadian “pertanyaan” itu diajukan, aku mulai berfikir, mulai menata dengan rapi kebingungan-kebingunganku, agar menjadi satu kesatuan argumentasi logisku.

waktu demi waktu, tes demi tes, aktifitas demi aktifitas yang aku lakukan, telah memberi jawaban atas pertanyaan waktu itu. Akan tetapi, jawaban yang aku temukan bukanlah sebuah jawaban yang meng ada-ada, tetapi jawaban yang apa adanya. Jawabanya adalah “ketidakmampuanku saat ini alias aku belum mampu”. Yaaa, aku mengatakan hal yang demikian bukan pesimistis tapi memang sungguh realistis. Untuk saat ini aku memang belum mampu mendapatkan apa yang aku inginkan, jangankan mendapatkan, untuk melakukan saja aku belum mampu. Dari pertanyaan itu aku ingin menjawab untuk diriku sendiri, dengan jawaban semauku, jadi apapun yang aku rasakan akan aku buang semua lewat tulisan ini, “kenapa ngelamar kerja disini, knapa gk ngelanjutin ngajar?” Aku tahu mengajarkan ilmu sampai beranfaat adalah salah satu amal ibadah yang pahalanya tidak terputus sampai akhir hayat, tapi sungguh, Mohon maaf banget, mohon maaf sebesar-besarnya, aku ini belum memiliki “kematangan ilmu” untuk mengajar. Bahkan ilmu yang 4 tahun sudah aku pelajari waktu kuliah seakan kurang bersahabat dengan otakku, aku belum bisa menikmati “kedewasaan ilmu” yang telah aku dapat. Aku masih butuh banyak belajar lagi. lanjut tulisan klik "baca selengkapnya"

Mengajar atau jadi seorang GURU dimana orang jawa menyebut GURU adalah di GUgu lan di tiRU, artinya kurang lebih sudah siap dijadikan contoh oleh muridnya baik tingkah lakunya, tindak tanduknya, kewibawaan ilmunya, keselarasan akhlaknya, kematangan pola berfikirnya dsb. Jangankan setengah, sepersekian ribu aja aku belum memenuhi kriteria sebagai seorang guru. Apa yang harus dicontoh dari kepribadianku, sungguh belum ada sesuatu yang layak yang bisa aku persembahkan pada murid-muridku, generasi- generasi terbaik yang dibesarkan dilingkungan pondok pesantren. Aku belum memiliki kemampuan dan kesiapan mental untuk mengimbangi semangat murid-murid yang aku hadapi. Mereka begitu antusias mengikuti pelajaran, sedangkan aku belum memiliki keilmuan yang mencukupi. Sungguh sangat “dzolim” diriku, ketika murid-murid mengharapkan sesuatu yang cukup berharga (berupa ilmu) dari ku, tetapi aku tidak bisa memenuhi harapan-harapan itu. Sangat “dzolim” diriku, ketika harus memangkas hak-hak keilmuan yang sudah selayaknya dimiliki oleh para pencari ilmu, tetapi dengan lemahnya keilmuanku, aku tidak bisa mentransfer dengan baik. Kalau boleh mengibaratkan, bawang pun masih memiliki derajat yang jauh lebih tinggi dari diriku. Kenapa bawang? Kepribadian bawang adalah kepribadian kulit, semakin dikupas semakin habis, dan tengah-tengahnya juga kosong, hampa, tidak punya nilai apa-apa kecuali sebagai bumbu penyedap saja. Lha, aku ini masih jauh di bawah bawang. Kalau bawang kosong maka diriku lebih kosong, kalau bawang itu cuma kulit saja bahkan aku tak punya “kulit keilmuan” sama sekali. Siapa aku? Kok berani-beraninya mengajarkan ilmu yang belum aku kuasai, bahkan sidang Tugas Akhir pun harus aku ulang karena keterbatasan kemampuanku, dan nilai IPK ku aja masih jauh dibawah rata-rata IPK teman-temanku, waduh sungguh tragis kalau aku jadi guru.

Aku memang merasa sangat enjoy saat dulu aku mengajar, aku enjoy bukan karena aku bisa mentransfer ilmu dengan baik, tapi lebih karena aku melihat wajah cerah santriwan-santriwati yang haus akan pengetahuan, semangat-semangat besar, harapan-harapan tinggi untuk meraih masa depan yang lebih baik, serta kekuatan tekad yang tak mampu dibendung oleh apapun demi “tholabul ‘ilmi”, sehingga aku mendapatkan suntikan energi positif dari sumber pemberi inspirasi, yaitu semangat murid-muridku. Itulah yang membuat aku senang dan enjoy, tetapi rasa senangku, rasa nyamanku masih saja dikalahkan oleh ketakutanku berbuat “dzolim” tadi.

Kebetulan aku mengajar ilmu kimia, ilmu kimia sangat luas dan memiliki keberagaman aplikasi. Lha kalo aku ngajar dikelas tanpa dibarengi dasar keilmuan yang kuat apa jadinya murid-murid yang aku ajari. Sungguh aku takut, kalau aku jadi guru maka murid-muridku akan memiliki pemahaman yang kosong, bahkan lebih kosong dari ku. Maka dari itu, untuk mencegah supaya tidak ber-efek negatif pada murid-muridku, cukuplah satu bulan lebih aku masuk kelas, meski begitu aku berharap tidak ada sesuatu yang sia-sia yang aku transferkan pada “sahabat-sahabat muda” ku. Aku yakin mereka akan menjadi santri-santri yang baik, lebih baik dari para pendahulunya, lebih kreatif, lebih semangat dan lebih ber manfaat bagi lingkunganya.

Sebenarnya masih banyak curhatan-curhatan yang pingin aku sampaikan, tapi cukuplah sampai disini dulu aku utarakan tingkat “ketidakmampuanku” mengimbangi antusiasme positif dari anak-anak yang ceria meski ditempatkan dikelas dikelas nan sumpek, anak-anak yang selalu riang ditengah himpitan bangunan pondok yang sempit, anak-anak yang tak pernah mengeluh meski harus bertarung dengan situasi pesantren yang serba terbatas. Tapi disini aku sedikit ingin mengatakan sesuatu, “sungguh pengorbananmu saat ini tidak akan sia-sia, dan yakinlah bahwa kesulitan-kesulitan yang kamu hadapi akan menjadikan kepribadianmu tambah kuat. Maaf sobat muda, aku belum berani berhadapan lagi dengan antusias besarmu, keilmuanku belum cukup menandingi kobaran api semangatmu. Aku masih butuh menimba ilmu didasar sumur pengetahuan yang begitu dalam. Sekali lagi aku minta maaf kalau selama aku mengajar, kalian malah menjadi kurang faham, itu memang murni kesalahanku tidak bisa mentransfer ilmu kimia yang pada dasarnya kamu butuhkan. Tapi aku juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, karena kalian bisa menerima keberadaanku, kalian tidak pernah mengusirku dengan serta merta meski kalian tidak mendapatkan apa yang seharusnya kalian dapatkan. Pesanku pada kalian, apapun pelajarannya, siapapun gurunya, ikuti dan hormati, esok suatu saat kalian akan membuktikan kebenaran janji “Ta’limul Muta’allim” kalau kalian menjalankan pean dari ta’lim muta’allim tersebut. Selamat berjuang, selamat berkarya, semoga keberkahan dan kemudahan selalu mendampingi kalian”.

Teruslah berusaha sampai kebosanan bosan menemanimu, teruslah berkarya sampai kejenuhan jenuh mendampingimu, dan teruslah belajar sampai keletihan letih mengejarmu”. Sukses selalu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks...