Selasa, 13 Juli 2010

GONJANG-GANJING ATLET POSPENAS V NON SANTRI

Pekan olahraga dan seni pondok pesantren nasional (POSPENAS) sudah seharusnya dan sudah selayaknya diramaikan oleh santriwan-santriwati yang “mondok” dan menempuh pendidikan di sebuah pesantren. Akan tetapi realita yang tampak saat ini bukan realita yang wajar, ketika beberapa atlet ikut nimbrung dalam perhelatan khusus santri tersebut. Atlet yang ikut berperan bukan sembarang atlet tetapi atlet dengan seabreg pengalaman dan telah malang melintang diberbagai event daerah maupun event nasional. Sungguh sangat disayangkan ketika tujuan pemerintah dan instansi terkait saling bekerja sama memberikan fasilitas memadai terhadap eksistensi dunia kepesantrenan baik bidang olahraga dan seni tidak dapat diterima dan dikelola dengan baik oleh oknum-oknum yang kurang bertanggungjawab, sehingga wahana dan sarana yang diberikan tidak dapat dinikmati dengan baik oleh santri tulen pondok pesantren.
Atlet “bon-bonan” mungkin itulah istilah yang senter terdengar selama POSPENAS V dilaksanakan dan berakhir pada 11 juli 2010, perhelatan itu bukan dijadikan ajang berlomba-lomba memunculkan atlet berprestasi dari latar belakang santri tapi malah dijadikan untuk mendapat atlet bon-bonan yang berkualitas dan memperoleh kemenangan untuk daerahnya.
Isu tersebut sebenarnya sudah ramai dibicarakan sebelum POSPENAS ini dilaksanakan di Jawa Timur, tepatnya pada pelaksanaan POSPEDA (pecan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren Daerah), atlet bon-bonan tersebut hamper menghiasi berbagai event perlombaan, hal ini sungguh sangat naïf melihat tujuan yang mulia bagi para penunutut ilmu di pesantren. Harapan santriwan-santriwati dapat berkompetisi secara fair dan muncul bibit-bibit unggul dari latar belakang santri ternodai oleh realita yang tidak mengenakkan. Harapan para santri untuk bisa berkompetisi, belajar dan mendapat pengalaman terkikis oleh even tersebut. Berdasarkan pengalaman pada perhelatan POSPEDA belum ada langkah khusus terkait dengan pemain non santri. POSPEDA sebenarnya diadakan untuk menyeleksi santri-santri berkualitas yang akan ditarungkan pada perhelatan POSPENAS tapi apa daya, karena kasus pemain “bon-bonan” tidak ada tindak lanjut sehingga keadaan seperti itu terbawa pada POSPENAS. Meski kenyataan tersebut mengundang kontroversial tetap saja belum ada langkah kongkrit yang terlihat untuk memperbaiki system itu. Sebut saja persyaratan tentang umur maksimal, pada saat itu umur dibatasi pada kisaran maksimal 17 thn. Tetapi salah seorang teman memergoki salah seorang pemain dari kalangan ustadz yang berumur >25 thn, dan tidak hanya cabang olahraga bulu tangkis saja masih banyak cabor-cabor lain yang diperankan oleh atlet nonsantri.
Kasus lain adalah tentang Kartu Identitas Santri (KIS), setiap atlet yang berlaga harus menunjukkan identitasnya sebagai seorang santri tapi kenyataan itu tidak nampak sama sekali pada saat registrasi dilaksanakan, dan saat beberapa atlet ditanya tentang pesantren yang merekomendasikan dengan ragu dan tidak yakin menjawabnya. Sehingga muncul tanda tanya besar dibenak beberapa teman-teman santri mana mungkin seorang santri lupa nama pesantrennya, sungguh sangat aneh.
Harapan untuk POSPEDA maupun POSPENAS kedepannya harus ada seleksi lebih ketat terhadap proses administrasi, agar citra pesantren yang baik tidak terusik dan tercemar oleh hal-hal yang tidak etis seperti itu.

1 komentar:

Thanks...